Oleh: Silmi Novita Nurman*
Kemarin lusa, saya usai nonton film layar lebar “Keluarga Cemara”. Pada awalnya, respon saya biasa-biasa saja saat mendapat kabar bahwa film ini telah dirilis di bioskop-bioskop seluruh Indonesia. Namun, nafsu saya untuk menonton film ini membara juga saat membaca banyak orang mereview film ini. Saya lalu baca sinopsisnya terlebih dahulu, kemudian lihat trailernya di youtube. Cukup menarik, pikir saya.
Saya tengah berada di kantor sewaktu mencoba berselancar mengintip jadwal pemutaran. Lalu dengan masih mengenakan pakaian kerja, saya pergi ke bioskop sendirian.
Film ini diadaptasi dari sinetron yang pertama kali tayang di salah satu stasiun televisi pada 6 Oktober 1996 dan berakhir pada 28 Februari 2005 hasil karya Arswendo Atmowiloto. Serial ini diproduksi oleh PT. Atmo Chademas Persada milik Arswendo sendiri.
Tercatat pada 3 Januari 2019, film “Keluarga Cemara” yang amat legendaris tahun 90-an itu resmi tayang kembali untuk mengobati rasa kangen para penggemarnya. Tentu dengan nuansa dan para pemain yang berbeda, namun masih sarat makna. Disutradarai oleh Yendy Laurens di bawah produksi Visinema Pictures, film ini kemudian booming dan memiliki kesan tersendiri bagi penggemarnya. Film yang dibintangi oleh Ringgo Agustinus sebagai Abah, Nirina Zubir sebagai Emak, dan dua anak mereka Zara JKT 48 yang berperan sebagai Euis (anak pertama) serta Widuri Putri sebagai Ara (anak kedua).
Kisah ini bergulir dari ketika mereka tinggal di Jakarta dengan kehidupan yang mapan tanpa kekurangan. Namun, hal itu tak berlangsung lama, kehidupan keluarga mereka berubah 180 derajat. Perusahaan yang dikelola oleh Abah tiba-tiba bangkrut, kemudian rumah mereka disita sehingga mereka tak punya tempat tinggal lagi. Pilihan terakhir yang diambil adalah hijrah ke desa, menempati rumah warisan dari ayah Abah. Tempat yang jauh dari hiruk-pikuk kota Jakarta.
Di sinilah permasalahan itu dimulai.
Setelah lepas dari segala kemewahan Jakarta, Abah dan keluarganya harus memulai kehidupan baru. Abah mulai mencari kerja ke sana kemari tapi tak juga dapat. Berkat bantuan Romli, teman kecil Abah, akhirnya berhasil juga mendapatkan pekerjaan; menjadi kuli bangunan. Sebuah perjaan yang tidak pernah terbayang dan dilakoni sebelumnya. Akan tetapi, hal itu tak berlangsung lama. Abah mengalami kecelakaan saat bekerja, kakinya patah sehingga mengharuskannya istrirahat untuk beberapa waktu.
Tak ada yang bekerja, perekonomian lumpuh. Emak mulai memutar akalnya, mencari pemasukan agar keluarga bisa makan. Emak menemukan ide, berjualan opak (kerupuk berbahan dasar singkong/ketela). Dengan sangat terpaksa, Emak menyuruh Euis yang duduk di bangku SMP untuk membawa opak ke sekolahnya. Meskipun pada awalnya Euis enggan membawa opak, berkat keadaan, Euis akhirnya menurut.
Melihat Euis berjualan di sekolah, tanpa aba-aba ada buliran kecil membasahi pipi saya. Pikiran saya melayang ke beberapa tahun lalu. Sewaktu SD dulu, saya juga berjualan di sekolah. Bahkan ibu saya juga. Ibu saya seorang guru SD tempat saya bersekolah. Ibu membawa es manis dan es batu ke sekolah. Box es tersebut diletakkan di depan kelas tempat dia mengajar, begitupun saya. Biasanya pagi-pagi sebelum sekolah, mengantar es batu dulu ke warung-warung. Terutama di bulan puasa, permintaan es batu meningkat dan saya mendapat untung banyak. Seluruh uang dari hasil penjualan es batu saya tabung di celengan plastik, dibuka pas menjelang lebaran, untuk membeli pakaian baru. Kehidupan seperti itu saya jalani sampai lulus SD. Eh, kok saya malah curhat.
Kembali ke “Keluarga Cemara”, dari gambaran di atas, terlihat bahwa mau tak mau, perempuan dituntut harus bekerja, harus punya skill untuk membantu keuangan keluarga terutama di saat krisis. Perempuan tidak dapat mengharap suami yang berhalangan baik sementara apalagi permanen. Ditambah jika kejadian itu di luar dugaan.
Saya teringat Hassan Hanafi, pemikir Mesir yang terkenal dengan pemikiran-pemikirannya yang kontroversial. Menurutnya, sebagaimana dikutip dari bukunya Religious Dialogue and Revolution, kesalingan suami-istri itu terletak pada pembagian kerja. Suami adalah pemimpin di mana pembagian kerjanya di wilayah publik atau di luar rumah dan istri di ranah domestik atau di dalam rumah. Istri berhak mengajukan surat perceraian ke meja hijau (pengadilan) jika suami tidak dapat memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya, baik dari segi keuangan, pendidikan, maupun hal primer lain. Sederhananya, kata Hanafi, laki-laki kalau belum mapan lahir batin terutama soal keuangan, jangan menikah dulu.
Nilai Pendidikan dalam “Keluarga Cemara”
Pertama, meminta maaf. Keluarga ini mencontohkan bagaimana ketika berbuat salah, maka segeralah meminta maaf. Saat Abah lagi ngecor atau menyemen lantai di bawah tangga, tiba-tiba Ara lewat dan menginjak semen yang telah diaduk dengan pasir itu. Abah tidak marah. Ara langsung meminta maaf. Ini adalah salah satu gambaran bahwa jika anak salah ya si anak harus minta maaf dan orang tua tidak boleh membentak memarahi si anak.
Kedua, tidak boleh memarahi anak dengan cara membentak. Satu hal yang tidak saya suka dari film ini adalah saat Abah marah, ia membentak anak-anaknya, terutama Euis. Waktu itu Euis hendak bertemu teman-teman sekolahnya semasa di Jakarta. Tempat pertemuan berada di kota Bogor, lumayan jauh dari desa. Abah tidak membolehkan Euis untuk bertemu teman-temannya. Namun, Euis nekat dan tetap pergi ke salah satu hotel di kota Bogor tersebut. Euis kembali ke rumah saat malam menjelang. Sesampai di rumah, Euis dimarahi Abah dengan bentakan.
Tahukah Anda bahwa cara yang dilakukan Abah di atas akan berdampak buruk bagi perkembangan otak si anak? Bagaimana tidak, Amir Zuhdi, seorang dokter ahli ilmu Neuroscience Indonesia mengatakan bahwa saat orangtua membentak, anak-anak akan merasa ketakutan. Saat rasa takut itu muncul, maka produksi hormone kortisol di otak meningkat. Lebih lanjut Amir mengungkapkan, bagian otak anak yang pertama kali tumbuh adalah bagian otak yang terkait dengan emosi. Dalam bagian tersebut, paling besar adalah wilayah emosi takut. Oleh sebab itu, anak-anak akan mudah merasa takut. Otak bekerja tidak hanya secara struktural, tapi ada listriknya, ada hormonalnya. Ketika anak belajar, maka neuronnya akan menyambung dan berdekatan, sehingga antar neuron semakin lama semakin menguat sebab sistem hormonal juga bekerja.
Jadi, ketika anak sering dibentak dengan keras, anak akan semakin takut dan semakin tinggi pula kerusakan pada neuron. Atas dasar itulah, menurut Amir, orangtua harus pandai-pandai mengelola emosinya. Saat anak salah, tetap katakan salah lalu berikan pengertian tanpa membentaknya.
Atas bentakan yang dilakukan Abah terhadap Euis, Ara sampai berucap bahwa dia tidak mau berulang tahun. Dia mau umurnya tetap tujuh tahun saja sebab kalau sudah berumur tiga belas tahun nanti, maka nasibnya akan sama seperti Euis, di mana dia juga akan dibentak-bentak, sama seperti yang Abah lakukan pada Euis sekarang.
Apa yang dikatakan Ara di atas adalah satu pukulan telak bagi Abah dan pelajaran bagi setiap orangtua agar tidak membentak anak. Ya, merasa takut adalah satu efek dari membentak anak. Efek lainnya seperti minder, tidak percaya diri, takut mencoba hal baru, keras kepala, membantah nasihat orangtua, anak berpotensi menjadi pemarah, egois, dan banyak lagi hal negatif lain.
Ketiga, kalau berjanji harus ditepati. Dalam film ini, Abah juga kurang di dalam memberi contoh yang baik terhadap anak-anaknya. Dari beberapa adegan, dia selalu berjanji pada anak-anaknya namun tak pernah dia tepati. Pas di hari perayaan ulang tahun Euis yang ke-13, Abah berjanji akan datang pukul 4 sore. Euis, Emak, Ara, dan tamu undangan lain menunggu, namun Abah tak juga datang. Diceritakan di film itu Abah tidak datang karena ada masalah cukup serius di kantornya. Semestinya sesibuk apa pun bekerja, orangtua hendaklah tetap berkabar, mengonfirmasi keadaannya. Sehingga bisa memupus kekecewaan anggota keluarga, sekaligus memberikan pendidikan pengertian yang bagus kepada anak.
Pada bagian lain, diceritakan saat di sekolah Euis mengalami haid dan darahnya tembus mengotori rok yang dikenakannya. Euis malu karena seluruh temannya tahu. Dia pulang dan langsung lari ke kamar sambil menangis tersedu-sedu. Abah menghampiri, tapi Euis tak mau cerita kenapa dia pulang sekolah sambil menangis. Euis bilang bahwa Abah tidak akan mengerti dengan apa yang tengah dia alami. Lalu Abah berusaha untuk menenangkan Euis dengan mengatakan bahwa dia janji akan bisa memahami Euis. Gadis itu marah besar saat Abah mengatakan kata ‘janji’. Baginya, Abah terlampau sering berjanji dan tak satu pun dipenuhinya.
Hal ini tentu menjadi contoh yang tidak baik bagi anak, bukan?
*Silmi Novita Nurman, dosen filsafat UIN Imam Bonjol Padang.
**sumber gambar ilustrasi dari womentalk.com