Ketua PC Fatayat NU Kulon Progo yang menjadi Kepala Desa Berprestasi

Jika Anda berkesempatan menyusuri jalan selatan propinsi Yogyakarta, dari arah Kabupaten Bantul ke barat menuju Jawa Tengah, atau arah sebaliknya, Anda akan melewati belahan tengah jalanan Kulon Progoarea selatan dengan pemandangan menawan. Gugusan pegunungan di nun utara dan kanan kiri jalan raya tak seberapa lebar yang dikatup persawahan membentang luas. Pada musim tanaman padi beranjak menghijau, maka yang tampak seperti permadani hijau menyegarkan. Sepoi angin berhembus sangat lembut. Belum lagi jika bergeser sedikit ke jalur Daendels, maka sepanjang jalan super mulus dan lebar itu menghadirkan hembus angin yang menghanyutkan, angin laut selatan. Samudera Hindia.

Sekira 35 kilometer arah barat dari Kota Jogja, Setelah melewati jembatan yang melintasi Sungai Serang, Anda akan memasuki Desa Ngestiharjo. Desa yang masuk kecamatan Wates, belum lama ini mendapatkan penghargaan sebagai desa menekan laju angka kemiskinan. TKPK (Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan) Awards. Hal itu tidak lepas dari peran kepemimpinan kepala desa yang kebetulan seorang perempuan.

Terlahir di Kulon Progo, 26 September 1981, Aris Zurkhasanah atau yang biasa dipanggil dengan “Mbak Zur” adalah kepala desa perempuan pertama dalam sejarah desa Ngestiharjo. Anak bungsu dari tiga bersaudara pasangan H. Wadi dan Hj. Rumiyati ini menamatkan Pendidikan tingginya di jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Kendati ijazahnya adalah guru atau pendidik agama Islam, namun tak pernah sekalipun ia gunakan untuk mendaftar menjadi guru atau tenaga kependidikan. Ia lebih memilih berkhidmat di dunia sosial dan keorganisasian.

Risalah Berorganisasi

Belum lama ini ia terpilih kembali menjadi Ketua Cabang Fatayat NU Kabupaten Kulon Progo untuk kedua kalinya masa khidmat 2018-2023. Pergumulannya di Fatayat NU Kulon Progo dimulai tahun 2006, usai ia menamatkan kuliahnya. Ia menjabat sebagai Sekretaris Umum PCF kala itu. Itu menjadi pengalaman pertamanya terjun ke organisasi. Berbeda dengan kalangan kebanyakan, di mana saat lulus kuliah strata satu biasanya orang akan disibukkan untuk mencari pekerjaan atau melanjutkan kuliah ke jenjang selanjutnya, Mbak Zur justru menyibukkan diri di organisasi. Belajar mengenal dan dikenal orang. Disiplin dalam beroganisasi inilah justru yang kemudian membuat pekerjaan datang sendiri kepadanya tanpa perlu dicari.

Berbarengan dengan geliat politik di tanah air dengan pelaksanaan Pilkada dan Pemilu serentak, penyelenggaraan hingga di tingkat bawah pun tak luput dari hingar-bingarnya. Tak terkecuali perekrutan panitia lokal pesta demokrasi lima tahunan bergulir hingga tingkat desa. Tak sedikit sahabat-sahabat Fatayat NU Kulonprogo yang terlibat dalam dinamika ini dengan menjadi panitia. Jika Ketua Cabang Fatayat NU kala itu (Mbak Ibah) terpilih sebagai anggota KPU (Komisi Pemilihan Umum) Kulon Progo, maka Mbak Zur ini terpilih menjadi anggota PPK atau panitia pemilu di tingkat kecamatan. Persinggungannya yang intens dengan kepanitiaan pemilu tingkat kecamatan dengan banyak desa yang menjadi wilayah tugasnya, tak ayal menyumbang banyak pengalaman dan keahliannya akan bagaimana “terjun ke desa”. Langsung ke grass root menjadikannya akrab dengan persoalan pedesaan secara lebih subtil. Tidak mengherankan jika kemudian ia terpilih dalam suksesi pemilihan kepala desa. Kini ia menjabat sebagai Kepala Desa sejak tahun 2012.

Dalam suatu kesempatan, ia menuturkan bahwa menjadi kepala desa itu tak ubahnya menjadi pelayan bagi warganya. Bukan hanya menjalankan tugas sebagaimana sudah diatur dalam garis besar undang-undang, namun melayani warga hingga 24 jam adalah lebih utama. Menjadi kepala desa adalah amanah. Berkat sudut pandang yang demikian, Desa Ngestiharjo di bawah kepemimpinannya berhasil menekan laju angka kemiskinan secara signifikan. Pembangunan insfrastruktur di seluruh penjuru desa juga dapat dirasakan secara langsung manfaatnya oleh warga.

Tak heran kalau kemudian desa Ngestiharjo di bawah kepemimpinannya berhasil menyabet TKPK Awards sebagai desa berprestasi dalam menekan angka laju kemiskinandan mendapat reward 100 juta. Rencananya, hadiah itu akan diperuntukkan untuk pembelian ambulans desa, demi peningkatan pelayanan kesehatan desa.

Perempuan NU

Mbak Zur merasakan bahwa persinggungannya dengan isu-isu perempuan barulah ia dapatkan sejak ia berkecimpung di Fatayat NU Kulon Progo. Pergaulan, dialog, pendalaman wacana, hingga terjun langsung ke agenda-agenda Fatayat NU di pelosok-pelosok Kulon Progo, dengan sendirinya mempengaruhi dan mengisi pemahamannya akan isu-isu perempuan secara lebih intens. Beberapa kali pelatihan atau workshop tentang isu gender digelar dan ia ikuti. Membuatnya menjadi belajar terus-menerus. Terlebih ketika ia sudah menjabat sebagai Kepala Desa. Ia bisa masuk secara lebih dalam dan riil ke dalam persoalan perempuan secara lebih luas dan sangat kompleks. Isu-isu kemiskinan perempuan menjadi target bidang yang digelutinya. Banyak hal ia upayakan berbarengan dengan program pemerintah 1 milyar per tahun untuk desa, meningkatkan ranah produktivitas warga khususnya perempuan dalam peningkatan kesejahteraan keluarga, termasuk di dalamnya pelaksaan program keluarga harapan yang dilakukan dengan serius dan terukur.

Ia memandang bahwa mereka, para perempuan itu, terutama yang berada di pelosok, mayoritas adalah warga Nahdhiyyin. Mereka mayoritas adalah warga sipil dengan tingkat kemiskinan cukup tinggi. Dalam segala sektor. Memang tak semata persoalan ekonomi. Namun, mau tidak mau harus diakui, masih menjadi hal yang mencolok.

Berkaitan dengan isu perempuan di lingkungan NU khususnya, Mbak Zur berpandangan bahwa ia masih secara pribadi terhalang “f”ame” konservatif. Dalam sikap dan pandangan pribadi ia termasuk yang progresif, kaitannya dengan isu feminisme. Namun untuk “mendobrak secara frontal” ia merasa belum memiliki keberanian. Menurutnya, aroma “santri-abangan” di dalam NU itu masih jelas garisnya. Laksana aroma feudal, budaya “ewuh-pewuh” alias kesungkanan itu masih mendominasi dalam budaya organisasi sehari-hari. Bukan hal yang bisa dinegasikan dengan istilah tawadhu. Baginya, tawadhu terhadap kyai misalnya dalam budaya organisasi ini, berbeda sifatnya dengan budaya “ewuh-pekewuh” yang masih lestari dan secara di bawah sadar terlestarikan. Belum ada kekuatan besar yang berani melawan “situasi” begini.

Walhasil, pekerjaan rumah Fatayat NU Kulon Progo khususnya masih banyak yang menunggu untuk diselesaikan. Tidak akan selesai jika hanya diperbincangkan saja di forum-forum dengan ruangan ber-AC. Ruang-ruang workshop dan seminar. Sebagai contoh isu KESPRO (kesehatan reproduksi). Fatayat NU di bawah kepemimpinannya pernah dan masih menjalin kerja sama dengan PKBI untuk mendesakkan kurikulum KESPRO ini bisa masuk ke sekolah-sekolah sebagai bagian dari kurikulum sekolah formal. Isu-isu terkait KDRT dan perdagangan perempuan juga menjadi garapan Fatayat NU Kulon Progo bekerja sama dengan Dinsosnakertrans.

Khusus untuk Perempuan Kulon Progo pada umumnya, ia memandang bahwa ke depan, modernitas sudah di depan mata, apalagi dengan skema isu untuk menjadikan Kulon Progo sebagai wilayah kosmopolit tak hanya sebagai “penyangga” Kota Jogja dengan mulai gencarnya pembangunan Bandara Internasional NYIA di pantai Glagah, yang sudah pasti akan diikuti oleh percepatan pembangunan dan aneka geliatnya di segala bidang. Isu-isu terkait ekonomi, kesehatan perempuan, lingkungan hidup, dan pendidikan karakter, adalah hal yang tak bisa ditunda lagi untuk dibiarkan mangkrak sebagai garapan Fatayat NU Kulon Progo.

Perempuan NU dan Politik

Mbak Zur hingga kini telah menjabat sebagai kepala desa selama enam tahun. Perjumpaan dan pergaulannya dengan berbagai kalangan secara luas tak urung membuatnya paham seluk-beluk perpolitikan, khususnya di tingkat lokal. Perempuan NU menurutnya masih lemah secara posisi dalam politik. Masih bisa dihitung dengan jari yang jelas-jelas menunjukkan identitasnya. Menurutnya, sebagai perempuan NU semestinya tak ada keraguan untuk menunjukkan jati diri sebagai Nahdhiyyin. Justru itulah saatnya tampil ke gelanggang untuk merebut wacana. Rasa percaya diri sebagai penunjang bisa dengan sendirinya hadir saat keberanian itu muncul.

Satu hal pernah ia lakukan dalam rembug bersama para pengurus PCNU Kulon Progo. Ia menyarankan agar para kepala desa dari unsur NU diinventarisir, lalu sekali tempo diundang ke PCNU untuk berdialog. Syukur-syukur apabila diberi wadah rutin, agar jamaah NU yang notabene berada di desa bisa terakomodir dan diperhatikan. Secara pribadi, Mbak Zur sendiri intens berkoordinasi kultural dengan para kepala desa di Kulon Progo dari unsur Nahdhatul Ulama. Mbak Zur juga mendesakkan untuk membuat semacam acara atau kegiatan khusus tentang advokasi kebijakan anggaran, agar dana APBDes bisa dirasakan langsung oleh warga Nahdhiyyin.

Mbak Zur yang mendapat gelar dari Paku Alaman dengan sebutan “Nyimas Ngabehi Darmo Retno” ini tengah mempersiapkan diri bersama dengan jajaran pengurus baru Fatayat Kulon Progo masa bakti 2018-2023 untuk menyongsong tugas dan pengabdian di wilayah Kulon Progo. Meski belum dilantik, pertemuan dan dialog intens terus dilakukan untuk merancang lima tahun ke depan.

Bersama tiga laki-laki dalam keluarga kecilnya; suami dan dua anak laki-laki, Mbak Zur masih berkhidmat penuh memimpin Desa Ngestiharjo hingga kini. Bisa dijumpai di facebook “AriZur EA”. (NDari)

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here