Jejak Perjuangan Nyai Sholihah Wahid Hasyim

Oleh: Dina Laylla Faddly

Sejak kita mengenal istilah Ulama, pasti yang terbesit pertama kali dalam pikiran kita adalah sesosok laki-laki yang alim dan memiliki ilmu tinggi di bidang agama. Diakui atau tidak persepsi tersebut dilatarbelakangi oleh realitas yang menunjukkan bahwa peran laki-laki lebih dominan daripada perempuan di masyarakat, sehingga pikiran kita dipaksa mengakui bahwa perempuan sejatinya hanya berfungsi sebagai pelengkap dari keberadaan laki-laki, padahal kedua jenis ini fitrahnya sama di hadapan Tuhan dan masyarakat hanya saja yang menjadi pembada adalah unsur genetiknya.

Identitas keulamaan yang selalu dilekatkan pada jenis kelamin laki-laki ini sejatinya tidak mutlak begitu saja, faktanya terdapat beberapa perempuan yang dapat mempresentasikan keberadaannya sebagai ulama. Hal ini dapat dilihat pada kenyataan bahwa perempuan juga mampu melekatkan identitas keulamaan ke dalam dirinya, hanya saja pengakuan di masyarakat masih sangat minim karena adanya dominasi yang telah disebutkan tadi.

Sebagai manusia yang dilahirkan dengan segenap haknya di hadapan Tuhan dan Masyarakat, kita semua tidak boleh memicingkan mata pada sosok ulama perempuan yang sejatinya telah ada sejak zaman dulu, baik yang tercatat oleh sejarah maupun tidak, baik yang berpengaruh lokal maupun nasional.

Di Indonesia kita mengenal tokoh Ulama Perempuan yang sangat gigih dan inspiratif, beliau bernama Sholihah Wahid Hasyim atau yang akrab disapa Nyai Sholihah. Nama Asli Nyai Sholihah adalah Munawwaroh, lahir pada 11 Oktober 1922 di Denanyar, Jombang, Jawa Timur dari pasangan KH. Bisri Syansuri dan Nyai Chodijah.[1]

Nyai Sholihah lahir pada masa rakyat Indonesia sedang dilanda keresahan dan perjuangan melepaskan diri dari kungkungan kolonialisme Belanda. Sebagai perempuan yang dilahirkan dilingkungan yang sangat religius, tentu saja Nyai Sholihah sangat akrab dengan ilmu-ilmu keagaamaan. Bahkan pola pendidikan yang diterima oleh beliau sangatlah ketat, dan saking ketatnya keluar dari lingkungan pesantren pun harus selalu ditemani oleh saudara-saudara beliau. Meski demikian, Nyai Sholihah tidak pernah menyesal dengan pola pendidikan yang sangat ketat itu, justru dari 9 saudaranya yang lain beliaulah yang sagat tekun dan memiliki rasa ingin tahu yang sangat tinggi.[2]

Sebagai seorang perempuan yang dilahirkan di lingkungan pesantren, Nyai Sholihah memulai pendidikan formalnya di Madrasah Ibtidaiyah Denanyar, yang merupakan rintisan ayah beliau. Selain pendidikan formal yang di tempuh, Nyai Sholihah juga menempuh pendidikan non-formal dari ayahnya langsung, tentang bagaimana mentransformasikan ilmu yang di dapat kepada santri puteri di Denanyar.

Menginjak masa remaja sampai pada masa pernikahan beliau dengan KH. Wahid Hasyim, pada tahun 1940-an Jepang datang untuk mengambil alih kekuasaan di Indonesia, beliau turut aktif dalam organisasi perkumpulan perempuan bentukan Jepang yang dikenal dengan Fujinkai, dengan menggeluti bidang kesenian, bahasa, dan obat-obatan untuk P3K, dan turut memprakarsai pendirian ranting-ranting Nahdlatul Oelama Muslimat (NOM). Hebatnya, meskipun Nyai Sholihah terlibat aktif dalam dalam kegiatan tersebut, beliau tidak pernah meninggalkan tanggungjawabnya sebagai isteri dengan tetap memperhatikan kehidupan keluarganya.

Kiprah beliau sebagai perempuan yang mendedikasikan hidupnya untuk kemaslahatan masyarakat, tidak selesai pada masa pemerintahan Jepang saja. Terbukti, bahwa pada saat Nyai Sholihah ditinggal wafat oleh KH. Wahid Hasyim menerima wasiat untuk melanjutkan perjuangan membesarkan Muslimat NU di Jakarta. Sejak saat itu beliau meniti karirnya menjadi anggota Muslimat NU Gambir (1950), Ketua Muslimat NU Matraman (1954), Ketua Muslimat NU DKI Jaya (1956), hingga Ketua I Pimpinan Pusat Muslimat NU pada tahun 1959 sampai beliau wafat.

Selain berkiprah di Muslimat NU, beliau juga pernah menjadi anggota Parlemen pada tahun 1978-1987, beliau juga aktif dalam beberapa kegiatan sosial kemasyarakatan yaitu Yayasan Dana Bantuan sejak 1958 sampai di penghujung umurnya, mendirikan Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional tahun 1974, dan mendirikan Panti Harapan Remaja di Jakarta Timur pada 1976.[3]

Dalam bidang kegiatan keagamaan, Nyai Sholihah juga turut serta mendirikan Yayasan Kesejahteraan Muslimat NU pada tahun 1963, Lembaga Kemaslahan Keluarga NU pada tahun 1978, pengajian al-Ishlah, dan Lembaga Penyantun Lanjut Usia pada tahun 1976. Selain itu, beliau bersama Mahmudah Mawardi dan Asmah Syahroni mendirikan Rumah Bersalin Muslimat (RBM), Balai Kesejahteraan Ibu dan Anak (BKIA) Muslimat, Panti Asuhan Muslimat, Klinik Keluarga Berencana (KB), serta memberikan beasiswa kepada putera-puteri NU yang kurang mampu.[4]

Setelah melakukan banyak hal dalam memperjuangkan masyarakatnya, di usianya yang ke 72 tahun beliau wafat meninggalkan kita semua, dengan mewarisi semangat yang bahkan sampai saat ini dapat kita lihat wujud dari semangat beliau. Sebagai perempuan generasi bangsa, sudah selayaknya kita melanjutkan semangat beliau tanpa mengurangi tanggungjawab yang telah dibebankan kepada perempuan sebagai makhluk ciptaan Tuhan.

Demikian Jejak Perjuangan Nyai Sholihah Wahid Hasyim. Semoga bermanfaat.


[1] Muhammad Dahlan, dkk, Sholihah A Wahid Hasyim: Muslimah di Garis Depan Sebuah Biografi, Jakarta: Yayasan K.H.A. Wahid Hasyim, 2001, hlm. 5

[2] Ibid, hlm. 12

[3] Ibid, hlm 50-51

[4] Ibid, hlm. 53

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here