KDRT : Bertahan atau Bersamakah ?
Oleh Ani Rufaida
“Mbk aku sudah gak kuat, suamiku kasar sama aku, kasar juga sama anak. Saya kali ini sudah gak kuat Mbak. Saya sudah berusaha tapi kesabaran saya terbatas”.
Narasi tersebut adalah obrolan singkat yang masuk di whatssup chat saya. Pengalaman perempuan yang mengalami kekerasan dari pasangannya (intimate partner). Beberapa kali dia cerita jika pernah mau bercerai dengan pasangannya. Namun beberapakali juga dia rujuk kembali demi anak dan keluarga nya.
“Bagaimana anak saya nanti” “Bagaimana keluarga besar saya” Fikiran ini yang muncul dalam benak nya. Lagi-lagi dalam konteks ini perempuan tidak memimikirkan dirinya namun berifikir tentang orang lain. Konstruksi gender yang timpang terhadap perempuan membuat Ia tidak peduli terhadap dirinya sendiri, pada situasi krisis pun ia memikirkan bagaimana keluarga besarnya. Sekalipun pengalaman kekerasan yang berulang ia dapatkan dari pasangan hidupnya.
Berbagai pertimbangan ini berkaitan dengan situasi psikologis perempuan, latar belakang dibesarkan dan tumbuh kembang anak selanjutnya bahkan tidak sedikit juga pertimbangan ekonomi.
Bagi perempuan, siapa yang mau mengalami hal tersebut? Tidak ada pastinya!.
Setiap orang mendambakan rumah tangga yang harmonis, saling mendukung dan saling bekerjasama. Namun tidak sedikit banyak pasangan keluarga yang terjebak dalam hubungan toxic yang rumit, dimana ada kekerasan dalam rumah tangga dalam keluarganya.
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tersebut, Bab 1 tentang Ketentuan Umum Pasal 2 adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. (UU No 23, 2004)
Betapapun rumit nya relasi dalam rumah tangga yang mengakibatkan terjadi nya kekerasan dalam rumah tangga, masih banyak perempuan korban dan pelaku yang memutuskan untuk hidup bersama. Beberapa perempuan berharap suaminya akan berubah, dan berharap pasangannya tidak akan mengulang hal yang sama. Namun beberapa kali kenyataan tidak bisa bergeming karena harapannya tak kunjung menjadi nyata.
Pada situasi ini perempuan akan mengalami dampak kekerasan baik secara fisik, psikis, kepercayaan diri yang kurang, mengisolasi diri, memiliki ketergantungan kepasangan, menyiksa diri, stress, trauma, depresi dan bahkan memiliki keinginan bunuh diri. Prilaku fisik akan sangat terlihat dengan jelas namun psikis dampaknya bisa berangsur lama bahkan mengganggu kesehatan mental seseorang.
Saya pernah terlibat dalam pendampingan korban KDRT disalah satu Polsek. Perempuan ini menunduk lesu, dengan jelas ia mengalami luka fisik, lebam –lebam dibeberapa bagian tubuhnya, wajah, tangan dan kaki nya. Bahkan bekas sundutan rokok di bagian tubuhnya. Dalam proses pendampingan yang berjalan ia tidak benar-benar bisa mengakui bahwa kekerasan itu benar terjadi akibat ulah suaminya. Meskipun pihak keluarga dan tetangga melaporkan kejadian tersebut.
Kasus KDRT tersebut berdampak juga terhadap situasi anak nya, beberapa kali ia memilih untuk tidak mau tinggal bersama dengan orang tua nya dan memilih tinggal bersama nenek dan kakeknya. Kerap kali si anak yang masih usia SD mumikirkan kondisi keluarga, Ia berada pada situasi yang tidak mudah karena pertengakaran orang tuanya. Beberapa kali si anak dijemput oleh orang tuanya di rumah neneknya, namun ia memilih menolak karena situsi yang membuat tertekan dan mengalami ketakutan. Emosi yang tidak mudah bagi si anak juga perlu dipahami oleh keluarga, bagi anak butuh beberapa waktu untuk bisa beradaptasi dan kembali ke rumah ayah dan ibu nya.
Diatas sangat jelas bagaimana KDRT juga berdampak pada anak, baik mempengaruhi fisik, psikis, prilaku, ketrampilan sosial, prestasi anak di sekolah. Pengalaman anak menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga membuat anak-anak bingung dengan dirinya, hal ini juga mempengaruhi mereka dalam mengenali perasaan serta mengatasi perasaan mereka tentang situasi yang terjadi pada dirinya. Maka penting memahami situasi anak korban KDRT.
Minggu lalu saya sharing dengan salah satu guru yang mengajar di sekolah SMK di Yogyakarta, ia bercerita tentang pengalaman beberapa anak yang menjadi korban broken home beberapa jelas di dalam ceritanya tentang anak-anak korban KDRT. Dimana situasi mereka tidak lah mudah, bisa masuk sekolah dan tertib dalam jam belajar adalah keberuntungan bagi gurunya, karena selebihnya mereka lebih banyak bersikap brontak dengan tidak masuk sekolah, pergaulan bebas dengan sering nongkrong di jam pelajaran sekolah, beberapa yang lain memilih menjadi pendiam. Situasi –situasi ini tentu berdampak pada aktivitas belajar siswa di dalam mencapai capaian belajar anak.
Baik istri yang mengalami korban KDRT secara langsung maupun anak yang juga mengalami dampak secara tidak langsung. Mereka sama-sama berada pada situasi rumit, kebingungan, kehilangan arah, dimana secara spikologis memempanguruhi kesehatan mental mereka. Situasi korban tidak lah mudah sehingga support system lingkungan yang memiliki perspektif keadilan dan kesetaraan gender menjadi sangat penting sehingga korban tidak disalahkan. Hal ini bisa dibangun baik ditingkat mikro melalui relasi keluarga dan pertemanan maupun tingkat makro pada level institusional dan kebijakan.
KDRT merupakan pelanggaran hak asasi manusia, merupakan bentuk diskriminasi dan merupakan bentuk kejahatan yang merendahkan martabat manusia. Dalam rangka meningkatkan persamaan dan keadilan substantive serta anti diskriminasi terhadap perempuan. Maka penting secara terus mengupayakan pencegahan kekerasan berbasis gender terhadap perempuan dan anak dimana upaya ini juga sudah tertuang dalam Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) yang disahkan oleh PBB pada 18 Desember 1979.
Reference
Erin, Sanders-McDonagh, Lucy Neville and Sevasti-Melissa Nolas. From pillar to post: understanding the victimisation of women and children who experience domestic violence in an age of austerity Feminist Review , 2016, No. 112, violence (2016), pp. 60-76
Abrahams, H., 2010. Rebuilding Lives after Domestic Violence: Understanding Long-Term Outcomes. London: Jessica Kingsley Publishers
Manan, Mohammad ‘Azzam. Jurnal Legislasi Indonesi Vol. 5 No. 3 – September 2008
Dokumen Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) yang disahkan oleh PBB pada 18 Desember 1979.
Dokumen Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004