Meneguhkan Nilai Keislaman dan Kemanusiaan dalam Penghapusan Kekerasan Seksual

Kasus kekerasan terhadap perempuan menjadi persoalan serius yang menjadi perhatian secara global sejak beberapa dekade lalu. Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik bekerjasama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tahun 2016 memperkirakan 2 dari 11 (18,3%) perempuan pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dari pasangannya dan 1 dari 3 (33,4%) perempuan  pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dari pasangan maupun non pasangannya (BPS, 2016).

Sejak tahun 2004 jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan yang terlaporkan rata-rata meningkat sekitar 10% hingga 40% setiap tahunnya. Pada tahun 2015 jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan Komnas Perempuan mencapai 321.752 kasus, atau meningkat 10% dari tahun 2014 yang berjumah 293.220 kasus. Sementara itu pada tahun 2016 terdapat sebanyak 259.150 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani . Kekerasan terhadap istri (KTI) menempati peringkat pertama 5.784 kasus (56%), disusul kekerasan dalam pacaran 2.171 kasus (21%), kekerasan terhadap anak perempuan 1.799 kasus (17%) dan sisanya kekerasan mantan suami, kekerasan mantan pacar, serta kekerasan terhadap pekerja rumah tangga.

Dokumentasi Komnas Perempuan mengidentifikasi adanya 15 bentuk kekerasan seksual selama 10 tahun terakhir. 15 bentuk kekerasan seksual ini kemudian di kelompokkan menjadi 9 bentuk di dalam draf RUU  PKS yaitu pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.

Negara wajib memberikan perlindungan kepada seluruh warga negara terutama kelompok rentan, perempuan, anak, dan kelompok berkebutuhan khusus seperti penyandang disabilitas. Salah satu bentuk perlindungan terhadap warga negara adalah perlindungan atas hak bebas dari ancaman dan kekerasan. Hak atas perlindungan dan hak atas keadilan juga sangat penting untuk ditekankan pelaksanaannya terhadap korban dalam penanganan kasus-kasus kekerasan seksual. Terbatasnya pengaturan tentang kekerasan seksual dalam KUHP juga menyebabkan banyak kasus. Kekerasan seksual yang tidak dapat diproses hukum, sehingga pelaku tidak dapat dijerat dan kekerasan seksual terus berulang. Keterbatasan payung hukum yang melindungi perempuan dan anak dari kekerasan seksual ini memprihatinkan, karena konstitusi dan sejumlah peraturan perundang-undangan di Indonesia telah menjamin perlunya perlakuan khusus terhadap upaya pemajuan, penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan hak-hak perempuan dan anak di Indonesia.

Lalu, bagaimana peran agama, khususnya Islam, memandang kasus kekerasan seksual dan upaya penegakan hukumnya, juga apakah dalam Islam mengenal pemberatan hukuman bagi pelaku kekerasan seksual?

Dalam nash Al-Quran disebutkan status manusia (laki-laki dan perempuan) sebagai makhluk mulia [QS. Al Isra: 70], larangan melecehkan martabat perempuan (QS. An Nisa’: 19), perempuan korban perkosaan tidak boleh dihukum (QS An Nuur: 33), larangan menyakiti orang yang tidak bersalah (QS. Al-Ahzab: 58), larangan memaksa perempuan melacurkan diri (QS. An Nur: 33), dan masih banyak lagi.

Dalam nash hadis juga disebutkan tentang perintah menjaga martabat kemanusiaan (Riwayat Bukhori, Sahih, No Hadits 67), larangan perdagangan perempuan (Riwayat Bukhori, Sahih, No Hadits 2277), pelaku perkosaan dihukum berat, korban dibebaskan, dan perempuan diterima sebagai saksi korban (Riwayat Turmudzi, No Hadis 1525 dan Abu Dawud No Hadits 4381), dan lain-lain. Perlindungan terhadap perempuan juga diperkuat dengan pendapat pendapat ulama, misal larangan menghukum korban perkosaan dan kewajiban memberi kompensasi (pendapat Imam Malik dalam Muwatha’), larangan memberikan ancaman keamanan di ruang publik (Wahbah az Zuhaili, Mausuatul Fiqhil Islami, hlm 166), dan hal lain semacam.

Sejak tahun 2014, gerakan masyarakat sipil di Indonesia, yang dimotori oleh Komnas Perempuan dan Forum Pengada Layanan telah melakukan serangkaian upaya advokasi untuk mendorong adanya Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (UU PKS). Saat ini draft RUU PKS telah masuk dalam daftar prolegnas di DPR RI. Akan tetapi, akhir-akhir ini muncul polemik di masyarakat terhadap subtansi yang diajukan di dalam draft RUU PKS. Polemik ini terlihat nyata dari perang wacana di media sosial yang kemudian mendorong lahirnya petisi penolakan dan petisi dukungan terhadap RUU PKS. Berbagai hoax terkait RUU PKS ini beredar luas di masyarakat dan disebarluaskan secara sistematis, misalnya RUU PKS melegalkan zina, RUU PKS produk Barat, RUU PKS melegalkan aborsi, seorang ibu bisa dipidana karena memerintahkan putrinya untuk berbusana muslimah dan lain-lain.

Menanggapi polemik yang berkembang kami jaringan masyarakat Yogyakarta yang dimotori oleh Forum Pengada Layanan, Jaringan Perempuan Yogyakarta, dan PW Fatayat NU DIY menyatakan :

  1. Mendorong DPR untuk segera membahas dan men-sahkan RUU PKS
  2. Menuntut semua pihak untuk menghentikan penyebaran berita HOAX seputar RUU PKS
  3. Mendorong semua pihak terutama tokoh agama dan masyarakat untuk terus-menerus bahu-membahu melakukan berbagai upaya untuk pencegahan kekerasan seksual.

 

Yogyakarta, 28 Februari 2019

  1. FPL
  2. JPY
  3. PW Fatayat NU DIY
  4. Samsara
  5. Rifka Annisa
  6. SP Kinasih
  7. Yasanti
  8. Ciqal
  9. Kalyana mitra
  10. Mahasiswa Fakultas hukum UII
  11. Ekspresi UNY
  12. Lawan Patriarkhi
  13. Panitia bersama IWD Yogyakarta 2019
  14. Samin
  15. Soboman Institute
  16. Sabda
  17. Cakrawala Mahasiswa
  18. PPHGA UIN Sunan Kalijaga

 

(REDAKSI)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here