Oleh Maria Fauzi
.
Barikan merupakan acara selametan yang diselenggarakan oleh masyarakat pesisir pantura dan sekitarnya pada akhir bulan Dzul Hijjah untuk mapak tanggal atau mapak tahun (menyambut tahun baru hijriah). Sebagaimana tradisi penyambutan tahun baru Hijriah di daerah lainnya, tradisi Barikan ini juga sudah lama dilaksanakan oleh masyarakat Undaan, Kudus.
.
Seperti yang banyak diyakini oleh masyarakat setempat, kata Barikan diyakini berasal dari bahasa Arab barakah yang berarti berkah. Oleh masyarakat pantura ritual Barikan diyakini sebagai wujud syukur karena mereka telah menjalani satu tahun dengan selamat dan berharap tahun berikutnya mereka dilekatkan dengan kebahagiaan, dimudahkan dalam segala cobaan dan dijauhkan atau dari segala petaka.
.
Kata Barikan diambil dari bahasa Arab dari kata baria, yabrou bariatan yang berarti suatu do’a yang dipanjatkan oleh satu tokoh masyarakat agar dibebaskan dari segala marabahaya.
.
Tidak banyak yang tahu tentang kapan tradisi Barikan ini dimulai di Kudus, begitu pula tidak diketahui siapa yang memprakarsai. Besar kemungkinan tradisi ini merupakan salah satu bentuk Islamisasi tradisi Suronan, penyambutan bulan Suro, di Jawa. Salah satu sumber mengatakan bahwa Barikan dahulunya merupakan ritual untuk mengusir petaka atau slametan atas kebahagiaan tertentu yang dilakukan oleh masyarakat pada waktu yang tidak ditentukan. Ritual tersebut kemudian dipatenkan menjadi agenda rutin tiap tahun, yaitu untuk menutup tahun dan menyambut tahun baru. Namun, sumber lain membantah pendapat ini karena Barikan memang murni untuk menyambut tahun baru dan bukan lahir dari tradisi slametan yang dilaksanakan pada event-event tertentu karena slametan dalam arti yang demikian masih berjalan hingga sekarang.
.
Makna yang paling penting dalam penyelenggaraan ritual Barikan adalah selamatan bersama, yang di dalamnya mengandung doa mustajab dengan tujuan meminta kepada Allah SWT supaya diberi keselamatan baik di dunia maupun di akhirat kelak dan diberi kemudahan rizqi. Ritual barikan juga merupakan manifestasi dari keprihatinan masyarakat terhadap marabahaya atau musibah yang seringkali menimpa pada masyarakat desa dengan berpasrah diri kepada Allah SWT dengan cara berdo’a dan pemberian sedekah kepada masyarakat yang kurang mampu dengan dasar bahwa shodaqoh itu bisa menolak balak atau musibah.
.
Di Kudus, tradisi Barikan lekat dengan acara penyembelihan kambing oleh masyarakat. Biasanya masing-masing RT menyembelih seekor kambing dari hasil iuran yang dihimpun dari setiap keluarga. Penyembelihan dilakukan oleh tokoh yang dianggap memiliki tingkat relijusitas di atas rata-rata masyarakat, kyai atau orang saleh. Kambing yang sudah disembelih kemudian diolah dan dimasak oleh masyarakat di tempat terbuka. Menurut beberapa sumber, keterlibatan masyarakat dalam pengolahan daging kambing merupakan manifestasi kebersamaan, sedangkan tempat terbuka sebagai lokasi pengolahan dimaksudkan sebagai syiar Barikan.
.
Sore, mendekati pukul 5, perwakilan dari keluarga dari RT bersangkutan berkumpul di lokasi dekat pengolahan daging kambing dengan membawa nasi dan panci kosong. Biasanya dilakukan di jalan gang dengan duduk berjejer. Panitia Barikan mengabsen keluarga yang ikut iuran. Kemudian ritual dipimpin oleh tokoh agama di RT tersebut. Seringkali tokoh agama yang memimpin ritual adalah tokoh yang sama yang menyembelih kambing. Ritual diawali dengan membaca al-Fatihah yang dihadiahkan kepada leluhur di daerah tersebut dan dilanjutkan dengan membaca doa akhir tahun bersama.
.
Setelah ritual doa selesai, panitia membagikan daging kambing yang telah dimasak kepada perwakilan keluarga. Bersamaan dengan itu, panitia juga mengambil sebagian nasi yang dibawa perwakilan keluarga. Nasi yang diambil tersebut –bersama dengan kikil dan kepala kambing- dimaksudkan untuk makan panitia dengan cara kepungan, makan bersama dalam satu wadah besar. Biasanya daun pisang dipakai sebagai tempat makan kepungan. Sedangkan perwakilan keluarga pulang ke rumah masing-masing dengan sisa nasi yang dibawa dan daging kambing masak yang dibagikan dalam Barikan. Pada malam harinya, masyarakat menyelenggarakan melekan, berkumpul di malam hari hingga larut.
.
Menurut beberapa sumber, konon kepala kambing tidak ikut dimasak tapi dikubur di tempat tertentu. Hal ini diyakini sebagai sedekah pada alam atau sesaji. Praktek ini besar kemungkinan dipengaruhi oleh adat Jawa yang mempopuler sesajen. Namun, praktek ini sekarang tidak ditemukan karena menguatnya tradisi Islam yang melarang tabzir dan mempercayai kekuatan di luar kekuatan Tuhan. Di samping itu, masyarakat sekarang memandang kepala kambing masih bisa dimanfaatkan sebagai tambahan menu Barikan.
.
Banyak sumber mengatakan bahwa tradisi Barikan dengan menyembelih kambing di Kudus dahulunya adalah tradisi menyambut tahun baru dengan menyembelih ayam oleh masing-masing keluarga dengan menghadirkan tetangga dekat secara bergantian. Namun, tradisi ini dinilai kurang memperlihatkan gebyar Barikan dan dipandang kurang efektif karena harus menghadiri dan berdoa di setiap rumah tetangganya. Barikan dengan menyembelih kambing dinilai lebih efektif karena masyarakat hanya berkumpul dan berdoa bersama di satu lokasi. Di beberapa daerah, tradisi menyambun tahun baru dengan menyembelih ayam dan berdoa berkeliling rumah tetangga masih berlanjut hingga sekarang.

***
Kudus, 1 Muharram 1441 H

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here