Oleh: Nyai Hj. Badriyah Fayumi
Bab Aurat dalam Kitab Safinah dan Kearifan Ulama dan Guru2 Kampung
Tiba2 aku membayangkan, gimana ya seandainya penulis kitab Safinatunnaja (kitab fiqih dasar yg sangat populer di Indonesia) menyampaikan ijtihadnya tentang batas aurat yg ada di kitab ini di zaman sekarang, di ruang publik, lalu diviralkan melalui medsos ?
Di kitab itu, penulis, Syaikh Salim bin Samir al Hadrami menjelaskan 4 macam aurat di sub bab Syarat2 Shalat :
Pertama, aurat laki2 secara mutlak (yg merdeka maupun budak, di dalam shalat maupun di luar shalat) dan aurat “al-amat” (budak perempuan) di dalam shalat. Aurat keduanya sama, yakni antara pusar dan dengkul. (itu artinya “al-amat” boleh sholat dg kepala, leher dan betis terbuka).
Kedua, aurat perempuan merdeka di dalam shalat adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan dua telapak tangan. (kalau ini sih dijalankan di mana2).
Ketiga, aurat perempuan merdeka dan budak perempuan di luar shalat di hadapan laki2 ajnabi (non mahram) adalah seluruh tubuh. (itu artinya pakai cadar).
Keempat, aurat perempuan merdeka dan budak perempuan di luar shalat di hadapan laki2 mahramnya dan sesama perempuan adalah antara pusar dan dengkul.(ini berarti kepala, leher, betis bahkan dada boleh terlihat).
Penjelasan ini sudah ada dan dipelajari ratusan tahun di pesantren2, madrasah2 dan majlis2 taklim di Indonesia. Belum pernah terdengar kehebohan atau tuduhan yang tidak2 atas kitab ini. Paling banter guru yang mengajar kitab ini menyampaikan pendapatnya “Perlu diketahui, ini hasil ijtihad ulama beberapa abad silam. Tidak semua bisa dan tepat diterapkan saat ini. Untuk ketentuan pertama, budak perempuan sudah tidak ada. Semua manusia sudah merdeka. Maka saat ini tidak perlu ada pembedaan yang merdeka dan budak. Ini untuk pengetahuan bersama dan bukti bahwa pandangan tentang batasan aurat dalam fikih itu sangat dipengaruhi oleh konteks sosial yang ada saat ijtihad itu keluar.
Untuk ketentuan ketiga, tentang aurat perempuan di luar shalat, di Indonesia ini kita juga tidak perlu pakai cadar yg menutup wajah. Kita bisa merujuk pendapat lain yg kita anggap lebih tepat dan maslahah. Nah untuk ketentuan keempat, yakni saat bersama dengan sesama perempuan atau laki2 mahram kita juga sebaiknya tidak membuka dada dan hanya menutup antara pusar dan dengkul. Kurang patut dan kurang sopan. Dalam bertindak kita tidak cukup hanya menerapkan fikih, tapi juga perlu mengedepankan adab. Alhasil, meski dari 3 pendapat ini yg kita pakai hanya satu, yaitu ketentuan yang ketiga, kita tetap menghargai empat ketentuan yang disampaikan muallif karena itulah hasil ijtihad sesuai konteks sosialnya saat itu. Boleh tidak diikuti tapi tidak usah menghujat sang muallif (penulis kitab). Jangan pula karena tidak sependapat dalam satu hal lantas menolak orangnya, semua pemikiran dan karyanya. Kita akan tetap pelajari kitab ini karena banyak sekali hal penting dan mendasar yang bisa kita jadikan pedoman. Bab aurat ini adalah contoh perbedaan ijtihad dalam soal furu’iyyah (cabang). Jangan jadi pemantik dosa karena tidak setuju lalu menebar hujatan dan merasa paling benar. Paham ?” Begitulah pertanyaan retoris sang guru di akhir penjelasannya. Dan saat menutup pengajiannya, sang guru pun tak lupa mengajak murid2nya, “Yuk kita bacakan Al Fatihah kepada muallif, semoga Allah merahmati beliau dan semoga ilmu kita bermanfaat.”
Begitulah biasanya para ulama (laki2 dan perempuan) dan guru2 di kampung2 menjelaskan dan menyikapi hasil ijtihad yang berbeda secara bijaksana. Dengan kedalaman ilmu dan ketawadhuan diri, mereka tidak pernah mencap sesat atau menghujat karena menyadari itu hasil ijtihad. Para ulama dan guru2 kampung itu juga paham adab ikhtilaf (berbeda pendapat), sehingga jika ada pendapat seorang ulama tentang satu hal yang ia tidak setuju, ia hanya tidak ambil pendapat yg tidak disetujui saja, tanpa menghujat orangnya dan tetap obyektif melihat karya dan pendapat2 ulama itu dalam hal2 lainnya.
Tiba2 aku rindu dengan suasana keilmuan yang penuh kearifan dari para ulama dan guru2 yang demikian. Juga para murid dan pembelajar yang menerapkan akhlakul karimah saat menyikapi perbedaan pendapat (khilafiyah). Masih bisakah kini kita berbeda pendapat dengan penuh kearifan dan adab ?