“Ibuuuu! Maafkan Hilda. Apa yang harus Hilda lakukan, Ibu… Ibuuuu,” Hilda mengguncang-guncang tubuh Andin di sebelahnya sambil mulutnya terus memanggil-manggil ibunya.
“Hilda, bangun… kamu tidak apa-apa? Hilda…!” panggil Andin yang terkaget-kaget.
Hilda terbangun dengan nafas tersengal dan dia masih menangis tersedu-sedu. Tangannya gemetar dan berusaha meraih tangan Andin. Dia terlihat cemas dan ketakutan. Andin berusaha memeluk dan menenangkannya.
“Tenang, kamu hanya mimpi. Kamu sekarang sudah baik-baik saja. Tenang ya,” hibur Andin dan mengambilkan minum untuk sahabatnya itu. Setelah meneguk minuman itu, Hilda berusaha menenangkan dirinya.
“Terima kasih, Ndin.”
“Sepertinya akhir-akhir ini kamu sering bermimpi buruk. Apa mungkin karena beberapa bulan terakhir ini kamu mendalami materi tentang masalah ini?” tanya Andin mencoba mencairkan suasana.
“Aku tidak apa-apa, Ndin. Ya, mungkin aku terbawa perasaan. Seperti membuka luka lama yang belum mengering.”
“Aku tahu, tidak mudah memang melupakan masa lalu.”
Hilda memandang Andin, sahabat yang selalu menemaninya sejak perjumpaan pertamanya di pesantren ini. Andin sejak kecil telah ditinggal oleh ayahnya dan sejak saat itu dia hidup dengan ibunya dan memustuskan untuk nyantri di pesantren. Pesantren Darussalam adalah rumah kehidupan bagi santri-santrinya. Mungkin pesantren ini memiliki karakter yang berbeda dari pesantren lainnya. Santrinya berasal dari berbagai latar belakang keluarga yang bermacam-macam. Di antara mereka ada yang berasal dari keluarga yang sempurna dan baik-baik. Anak santri yang statusnya yatim piatu, santri yang sejak kecil dibuang oleh orang tuanya, para pecandu narkoba, dan ada juga santri yang pernah menjadi korban kekerasan seksual. Semua santri dengan beragam latar belakang kehidupan mereka sama-sama mendapatkan tempat perlindungan dan kedamaian di pesantren ini.
Usia santri juga sangat beragam. Ada yang masih pelajar, mahasiswa sampai orang tua. Bilik asrama terbagi sesuai dengan usia santri. Banyak ibu-ibu yang masih nyantri dan rata-rata mereka janda. Bahkan anak-anak mereka juga ikut menjadi santri di sini. Andin dan Hilda adalah salah satunya.
Dulu, Hilda dan ibunya sama-sama menjadi santri sebelum kemudian ibunya memutuskan untuk pulang ke rumah neneknya setelah nenek Hilda meninggal dunia. Sedangkan Andin masih sempat hidup bersama ibunya di pesantren selama satu tahun sebelum ibunya meninggal dunia akibat kanker rahim yang dideritanya.
Konon, ayah Andin sering bertindak keras kepada ibunya. Suatu ketika, ayah Andin meninggalkan mereka untuk menikah dengan perempuan lain dan hal itu membuat Andin begitu benci kepada ayahnya. Rasa benci Andin kepada ayahnya masih membekas sampai dalam waktu yang begitu lama meskipun ia juga mengakui sudah memaafkan perbuatan ayahnya.
Karena itulah Ibu Nyai selalu berpesan bagi semua santri untuk selalu membuka pintu maaf bagi orang yang telah menyakiti kita dan kemudian teruslah belajar menatap masa depan untuk kehidupan yang lebih baik.
“Andin, aku ingat pesan Ummi. Kita tidak boleh menyimpan dendam bagi siapa pun. Aku baik-baik saja meskipun kerap dihantui mimpi buruk ini,” kata Hilda. Andin hanya mengangguk dan mengajak sahabatnya itu kembali tidur.
***
Usai jam kuliah berakhir, Hilda segera berjalan menuju Student Center. Terakhir dia ke tempat ini ketika ada sosialisasi untuk mahasiswa baru. Setelah itu dia tidak tertarik dengan kegiatan kampus. Setelah peristiwa yang terjadi beberapa tahun silam, banyak hal yang erubah dalam diri Hilda. Dia yang dikenal sebagai gadis periang dan penuh semangat dalam bergaul, kini dia lebih asyik dengan dirinya dan buku-bukunya. Hilda hanya nyaman berteman dengan teman santri di pesantrennya. Namun saat ini, dia merasa bahwa sepertinya ada perasaan yang luar biasa sedang dirasakannya. Hilda berusaha mengabaikan perasaannya sambil memasuki Student Center dan di sana dia mencari ruang Lembaga Pers Mahasiswa(LPM).
“Maaf, ruang LPM di mana ya?” tanya Hilda pada salah satu mahasiswa yang sedang asyik membaca koran.
“Sebelah sana, Mbak. Lurus aja mentok nanti belok ke sebelah kanan.”
“Terima kasih.”
Segera Hilda berjalan menuju ruang LPM dan kebetulan di dalam ruangan seperti ada rapat. Hilda sedikit bingung dan takut untuk mengetuk pintu. Beruntung salah seorang perempuan keluar menghampirinya.
“Ada apa ya?”
“Ehm… maaf, apa pendaftaran pelatihan menulis masih dibuka? Masih boleh daftar nggak, Mbak?” tanya Hilda.
“Masih. Ini hari terakhir dan beruntung kursi pendaftaran hanya tingga satu. Jadi kamu bisa daftar. Tapi persayaratan harus membawa satu tulisan yang sudah kamu siapkan.”
Hilda tersenyum dan mengangguk. “Iya Mbak. Ini sudah saya siapkan semua persyaratannya,” kata Hilda, menyodorkan kertas-keras berisi persyaratan itu.
“Oke, saya ambilkan formulirnya dulu, ya.”
Perempuan tersebut kembali masuk ke ruang LPM dan tak lama kemudian kembali menghampiri Hilda sambil membawa formulir pendaftaran pelatihan menulis. Setelah selesai mengisi formulir, Hilda pulang.
“Baiklah sampai ketemu hari Minggu ya. Semoga selama pelatihan kamu bisa hadir terus.”
“Iya Mbak. Terima kasih.”
Hilda kembali menuju parkiran dengan perasaan gembira. Dia berharap pelatihan ini dapat membantu melatih kemampuan menulisnya menjadi lebih baik. Tapi perjalanannya sejenak terhenti di depan papan pengumuman. Di sana dia membaca sebuah flyer bertuliskan What is Critical Thinking? Hilda tertarik dengan tema seminar ini dan dirinya seperti mendapatkan petunjuk kemana dia harus melangkah setelah sebelumnya merasa tersesat. Hilda ingin mengikuti seminar tersebut, apalagi di situ tertulis jelas GRATIS, dan siapapun boleh ikut acara tersebut.
“Sepertinya tidak akan terlambat. Apalagi Gedung Serbaguna tidak terlalu jauh dari sini.” Hilda bergegas menuju tempat di mana acara seminar itu dilaksanakan. Tepat di depan pintu masuk gedung, Hilda hampir menabrak seseorang namun masih beruntung karena dia menghentikan langkahnya tepat waktu.
“Maaf Pak, maaf. Saya buru-buru. Permisi,” kata Hilda.
Tanpa menatap wajah orang yang hampir ditabraknya, Hilda berlalu sambil menundukkan kepala.
“Iya, tidak apa-apa, lain kali hati-hati,” jawab laki-laki itu.
Hilda kembali berjalan memasuki ruang tempat acara. Tapi langkahnya kembali terhenti. Kejadian barusan seakan-akan mengingatkannya kembali pada suatu kejadian yang sebelumnya pernah terjadi. Hilda menoleh ke arah orang yang hampir ditabraknya barusan dan memperhatikannya untuk beberapa saat.
“Sosok orang itu sepertinya sama dengan laki-laki yang hampir saya tabrak di depan pintu aula pondok. Ah, mungkin saja bukan,” Hilda membatin dan kembali meneruskan langkah kakinya.
Ruangan tempat seminar itu sudah dipenuhi peserta. Namun beruntung Hilda masih kebagian tempat. Dia berjalan ke arah sebuah kursi kosong di depan sana. Tetapi sebelum mencapai kursi, langkahnya dihentikan suara seseorang yang memanggil namanya.
“Ssttt… Hilda!” Hilda celingukan mencari sumber suara sampai kemudian dia menjumpai wajah sahabat karibnnya.
“Andin!” serunya. “Ngapain kamu di sini?”
“Beli sayuran. Ya ikut seminar dong….”
Hilda tersenyum mendengarkan jawaban Andin. “Setahuku kamu paling malas datang ke seminar-seminar seperti ini. Apalagi temanya bukan syariah banget.” Hilda mulai menggoda temannya yang kemudian mengoceh kesana kemari menjelaskan alasannya kenapa dia sampai tertarik mengikuti seminar itu.
“Memang, aku nggak pernah tertarik sama sekali dengan tema beginian. Orang kok disuruh mikir mulu!”
“Njuk ngopo awakmu ning kene?”
“Mau ketemu pujaan hati,” jawab Andin mulai senyum-senyum sendiri.
“Bener-bener ya, kumat nih anak.”
“Hey, dengerin baik-baik. Calon imamku kali ini yang mengisi seminar ini.”
Calon imam? Hilda semakin malas mendengarkan Andin yang asyik dengan khayalannya. Tetapi dia juga merasa penasaran karena tadi tidak sempat memperhatikan siapa pembicara dalam acara tersebut. Acara pembukaan sudah selesai, dan kemudian moderator seminar memimpin jalannya acara. Melalui pengeras suara, moderator memanggil para pembicara dan mempersilahkan mereka menempati tempat yang sudah disediakan.
“Kami persilahkan, Bapak Arif Lukman, dosen komunikasi, dan Mas Ali Muhammad Wafa, lulusan terbaik jurusan ilmu teknologi dari salah satu kampus ternama di Indonesia untuk duduk bersama saya dan memulai seminar kita hari ini.”
Seketika Andin bertepuk tangan dengan keras dan memandangi salah satu pemateri yang disebut oleh moderator.
“Ndin, apaan sih. Biasa aja dong!”
Hilda semakin merasa aneh melihat tingkah sahabatnya ini.
“Da, kamu tidak dengar tadi pangeranku dipanggil. Lihat, ganteng banget….”
Hilda kemudian melihat ke salah seorang pemateri yang ditunjuk Andin dan dia terdiam sesaat seperti mengingat sesuatu. “Orang itu dan baju batiknya sama dengan orang yang hampir aku tabrak tadi. Ia juga mirip dengan orang yang hampir aku tabrak ketika di pesantren,” bisik Hilda.
“Dia itu Mas Wafa yang kemarin kita bicarakan. Calon imam yang sempurna. Ganteng, pinter agamanya, pinter ilmu pengetahuannya alias pinter cari duit, terus keponakan Ummi lagi. Lengkap deh. Aaah…. pasti dia akan jadi suami yang baik, yang tidak akan menyakiti istrinya,” Andin kembali dengan ceracauannya.
Hilda tidak begitu menghirakan ocehan sahabatnya itu. Sebaliknya, dia masih terdiam dan mengingat-ingat lagi sosok yang sepertinya beberapa kali dia temui. “Apa Mas Wafa ini orang yang sama, yang hampir aku tabrak di depan pintu aula, yang duduk bersama Gus Imam dan hampir aku tabrak lagi di depan gedung ini dan sekarang jadi pembicara juga?” berbagai pertanyaan berseleweran di benak Hilda.
“Hey, kenapa kamu jadi ikut-ikutan menatap Mas Wafa seperti itu?” tanya Andin membuyarkan pikiran Hilda.
“Oh…. itu calon imammu? Semoga beruntung ya,” kata Hilda menyembunyikan peristiwa yang dia alami dengan Wafa.
“Sudah diem, aku ingin mendengarkan seminar ini.”
Seminar berjalan dengan lancar dan cukup seru karena masing-masing pemateri memiliki kekhasan sendiri dalam menyampaikan materinya. Berbeda dengan seminar yang sering diikuti Hilda sebelum-sebelumnya, seminar kali ini sangat menantang. Mungkin karena temanya yang sedikit berbeda.
“Waaah, ada banyak yang ingin bertanya nih. Baik saya akan memilih tiga penannya dulu ya. Ehmm.. Mas yang depan, satu lagi yang pakai baju putih dan mungkin satu dari perempuan ya. Nah, itu mbaknya yang pake jilbab merah.”
Pandangan Wafa langsung terhenti ketika orang ketiga yang dipanggil moderator adalah Hilda.
“Subhanallah! Kenapa perasaan ini muncul lagi. Perempuan yang satu ini memang bikin hatiku tidak bisa tenang,” Wafa membatin sesaat melihat wajah Hilda.
“Ngapain kamu ikutan tanya sih? Jangan sampe kamu tanya karena cari perhatian Mas Wafa ya?” bisik Andin pada Hilda.
“Enggak Ndin, don’t worry!”
“Da, aku buatin pertanyaan ya. Nanti di sesi kedua aku mau tanya sama Mas Wafa. Ya, untuk pembuka saja biar Mas Wafa tahu aku,” kata Andin.
Hilda menghela nafas dan tidak mengerti dengan tingkah sahabatnya itu.
“Kalau kamu ingin dicintai seseorang, jadilah diri sendiri,” bisik Hilda kepada Andin. Kata-kata Hilda seakan menjadi ‘tamparan’ bagi Andin sehingga membuatnya diam berpikir untuk beberapa saat.
“Silahkan, penanya yang ketiga,” panggil moderator. Hilda bangkit dari tempat duduknya.
“Assalamualaikum. Saya Hilda dari Jurusan Manajeman Pendidikan. Sebelumnya terima kasih kepada kedua pemateri yang membawakan materi ini dengan sangat baik.” Hilda mengatur nafas. Begitupun dengan Wafa yang tampak mengatur nafasnya.
“Saya ingin bertanya kepada Pak Wafa. Sebenarnya materi ini tergolong baru buat saya. Tadi Pak Wafa sudah menjelaskan tips untuk membangun pola pikir yang kritis. Pertanyaan saya, bagaimana menggunakan pola pikir kritis ini pada seseorang yang belum pernah menampilkan diri di depan publik. Ehhm, maksud saya, ada seseorang yang ingin menyampaikan pendapatnya kepada publik tentang banyak hal, khususnya tentang permasalah perempuan, tetapi dia sendiri orangnya tertutup, tidak memiliki akun sosial media dan juga tidak aktif dalam berbagai organisasi. Dia seperti bak air yang sudah terisi penuh tetapi tidak memiliki wadah untuk menampung tumpahan airnya. Bagaimana dia membuat wadah tersebut sehingga air-air ini berada pada tempat yang juga tepat?”
Kata demi kata yang disampaikan Hilda didengarkan dengan seksama oleh Wafa. Tapi sejak tadi, Hilda sama sekali tidak memandang dirinya. Dia bertanya dengan wajah menunduk, seakan menyembunyikan sesuatu dari orang lain yang ada di depannya. Hal itu membuat Wafa semakin penasaran untuk mengetahui Hilda. (Bersambung)
*Cerita Muyassaroh H, asal Panguragan Cirebon. Saat ini menetap di Wonocatur Baguntapan Bantul. Bersama keluarga kecilnya Ia menemani anak-anak di TPA Masjid Az-Zahrotun.