Permintaannya adalah Perintah

Selepas ngaji pagi aku kembali membaca laporan penelitian yang dikirim mas Wafa, sambil menunggu dia membalas pesanku. Sejak semalam dia belum merespon pesan yang aku kirim.

“Maaf Hilda kemaren saya ada urusan jadi baru bisa balas,”

Aku tersenyum membaca pesan pertamanya di pagi ini.

“Njeh mas gak apa-apa, jadi menurut njenengan ide tulisan ini bagaimana?”

“Perempuan sebagai maf’ul ya? Mungkin bisa dikatakan demikian, tapi kamu harus lebih menguraikan kenapa demikian?”

“Seperti yang disampaikan ibu Lies Marcoes dalam tulisannya Why di Indonesian Women Join Radical Groups? menjelaskan ada dua konteks yang menyertai keterlibatan perempuan dalam aksi ekstremisme di Indonesia. Pertama, para perempuan ini percaya pada gagasan kekhilafahan baik sebagai kewajiban atau syariat dan sebagai solusi jawaban atas kesenjangan sosial-ekonomi. Kedua, tentang pandangan masyarakat yang menempatkan posisi perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki. Didorong perlakuan semacam itu, para perempuan ini lalu beralih ke kelompok radikal-fundamentalis yang mereka nilai menjunjung kesetaraan serta mengakui kontribusi perempuan dalam upaya mewujudkan khilafah di dunia. Padahal kenyataannya, kelompok tersebut pun sangat patriarkis. Mereka mereduksi dan menyempitkan makna jihad berdasarkan gender.” Jawabku agak panjang.

“Ehm… maksudnya kelompok mereka ternyata sangat patriarkis?” tanya mas Wafa.

 “Dari yang saya baca, kelompok mereka membagi tugas laki-laki untuk berperang di medan pertempuran. Sementara perempuan dimaknai sebatas hanya melahirkan banyak anak yang kelak dianggap sebagai ‘prajurit Tuhan’ serta para perempuan ini melayani kebutuhan (fisik dan non-fisik) para laki-laki di kelompok tersebut. Jadi menurutku, wajar ketika di kalangan mereka isu poligami sangat marak, jika menikahi banyak perempuan maka akan memiliki banyak anak, jika memiliki banyak anak maka ‘prjurit Tuhan’ pun semakin banyak. Juga bisa memicu maraknya pernikahan anak, semakin cepat perempuan menikah semakin cepat pula mereka bereproduksi,”

“Cukup berat sih pemahamannya, coba nanti dalam tulisan kamu kemas dengan lebih ringan juga kamu tambahi dengan teks agama sehingga lebih kuat argumenmu. Misal, apakah nabi melakukan hal yang sama dengan kelompok yang mengatasnamakan agama tersebut? Atau justru nabi malah mengajarkan kita untuk melindungi dan memuliakan perempuan, karena perempuan simbol kasih sayang, bukan membuat perempuan hanya sebagai objek saja apalagi objek yang dikorbankan.”

“Oh iya mas, aku ingat satu hadist dalam sunnah turmudzi, nomer 1195 bebunyi ‘an nabi hurairota rodhiyallahu ‘anhu qola, qola rosulullahi SAW akmalul mu’minina imanan ahsanuhum khuluqon, wa khiyarukum khiyarukum linisaihim khuluqon,” kataku.

(Bersambung)

______

Mohon Maaf, untuk Kisah Hilda kami hapus dari web, karena sudah masuk proses Edit untuk diterbitkan dalam bentuk Novel.

Teruntuk Sahabat Pecinta Kisah Hilda, penulis haturkan terima kasih sudah berkenan membaca kisah Hilda, dan tunggu kehadiran kisah Hilda dalam bentuk Novel pada awal tahun 2020.

Salam Cinta untuk Semuanya.

*Oleh: Muyassaroh H,asal Panguragan Cirebon. Saat ini menetap di Wonocatur Baguntapan Bantul. Bersama keluarga kecilnya Ia menemani anak-anak di TPA Masjid Az-Zahrotun.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here