Santri nusantara, selayaknya menjadi pionir moderasi beragama di Indonesia.
Oleh : Ulil Albab Al Jawad
Indonesia merupakan bangsa yang sangat plural dan multicultural. Sebelum disahkan menjadi negara Indonesia, bangsa ini sudah memiliki keberagaman suku, budaya, dan agama. Dari Sabang sampai Merauke terdapat ribuan suku dan budaya. Sebut saja suku Jawa, Bugis, Sunda, Dayak, Bali, Sasak, dan Papua. Keberagaman ini tentu memiliki dua sisi yang berbeda. Pluralitas bisa menjadi poin positif bagi bangsa. Di sisi lain, pluralitas juga bisa menjadi ancaman kestabilitasan bernegara. Apabila keberagaman yang dimaksud tidak dirawat dengan baik, maka bisa menimbulkan gesekan antar suku, sehingga hal itu akan menyebabkan terjadinya konflik antar suku, ras dan agama.
Dengan kondisi tersebut di atas, sejak dulu Indonesia sering mengalami konflik antar suku dan agama. Seperti kasus Sampit, Poso, dan kasus bom Bali. Selain itu, pernah juga terjadi kasus rasisme yang terjadi di Papua beberapa tahun lalu. Dari deretan kejadian dan peristiwa tersebut dapat dikatakan bahwa Indonesia sangat rentan dengan konflik antar suku dan agama sekaligus membuktikan warga negara Indonesia masih perlu penanaman wawsan kebangsaan. Karena penyebab dari semua itu adalah kondisi keberagaman yang tidak diiringi penerapan nilai kebhinekaan. Oleh karena itu, dalam hal ini pendidikan pesantren yang berlandaskan nilai- nilai keislaman dan kebangsaan muncul sebagai solusi. Keberadaan pesantren di Indonesia bisa menjadi jawaban atas ketegangan yang diakibatkan oleh pemahaman pemeluk agama dan agen kebudayaan yang bisa dikatakan minim. Pesantren dengan produk santrinya juga bisa sebagai semen perekat terjalinnya keharmonisan antar warga negara.
Alasannya, santri sebagai produk pendidikan pesantren, sejak dini sudah ditanamkan nilai-nilai tasamuh, yaitu menghargai perbedaan dan menghormati orang lain. Apapun suku, ras dan agama seseorang sama haknya di bangsa ini dalam hal saling menghargai dan menghormati. Dari sekian banyak pesantren yang ada di Indonesia rata-rata mengedepankan prinsip kebangsaan sebagai falsafah kehidupannya. Nilai-nilai tasamuh, bila kembali ke pengertian pesantren sendiri yang merupakan sebuah pendidikan tradisional yang mana para santrinya tinggal bersama di dalam suatu asrama dan belajar mengenai pendidikan formal maupun non-formal di bawah bimbingan guru secara langsung. Dari pengertian ini, dapat diketahui bahwa santri selalu mengedepankan referensi yang shahih, dan Santri juga disaat menyatakan pendapat atau meyelesaikan sebuah perkara dilandaskan dengan hasil bertanya kepada yang lebih ahli dari pada bertanya pada media digital yang belum pasti kebenarannya, dan mudah termakan oleh isu yang dapat menyebabkan terjadinya ketersinggungan.
Selanjutnya, peran Santri dalam menyebarkan pemahaman agama tidak didasarkan atas kehendak pribadi dan hawa nafsu. Melainkan, berdasarkan kemampuan dan pengalaman yang didapatkan dari kitab-kitab yang sumbernya bersambung sanad kilmuannya sampai Rasullullah
dan para guru atau kiai yang mumpuni dan diakui keilmuannya. Sehingga, di dalam menyampaikan pesan-pesan agama disampaikan dengan sopan, halus, dan teduh. Namun, pesantren juga memiliki pengaruh besar terhadap pemahaman keilmuan para santri. Santri yang lahir dari pesantren yang memiliki pemahaman radikal dan ekstremis tentu akan berpengaruh terhadap implikasi keilmuan yang akan dilakukan oleh santri itu sendiri. Dari itu, santri sebagai pionir atau agen moderasi beragama di Indonesia mesti memiliki pemahaman agama yang rahmatan lil alamin. Jangan sampai pesan-pesan agama yang disampaikan oleh santri justru menimbulkan gejolak di masyarakat. Peantren-pesantren di bawah naungan kementerian agama khususnya diyakini bisa dijadikan sebagai rujukan pesantren yang melahirkan santri- santri yang memiliki prinsip-prinsip multicultural. Pesan yang agama yang didapatkan Santri ketika menimba ilmu dari kyai_kyai dan Asatidz untuk mengeepankan pendekatan terhadap objek dimana ia berada dan menghormati, menghargai apayang ada pada setiap tempat yang didatanginya. Sehingga, Ttidak cepat menganggap budaya dan agama orang lain buruk dan menganggap agamanya sendiri yang paling baik.
Untuk itu, penanaman prinsip-mulikultural pada diri santri perlu untuk dilakukan sejak dini di lingkungan pesantren. Supaya Ketika keluar dan melakukan pengabdian kepada masyarakat sebagai salah satu tanggung jawab akademiknya mendapatkan sambutan positif dan dapat berterima dengan seluruh lapisan masyarakat. Karena kaidah penyampaian pemahaman agamanya tidak dilandaskan atas kehendak pribadi dan hawa nafsu. Apalagi sampai menganggap orang yang tidak sejalur dan tidak sepaham dengan dirinya bisa musnahkan. Pemahaman inilah yang keliru selama. Dengan demikian, santri dengan segala keilmuannya diharapkan bisa menjadi embun penyejuk di dalam kondisi bangsa yang plural ini. Almarhum Gusdur pernah berkata “kalau mau berbuat baik kepada orang, jangan tanyakan apa agamanya”. Kata dari tokoh yang seperti ini membuat kesejukan bagi seluruh manusia, dan bahkan alam semestapun ikut berbahagia dengan cara sendiri. Kata-kata yang seperti itu juga dimiliki oleh santri karena telah ditanamkan oleh para kyainya ketika menjadi mondok di pesantren.
Ulil Albab Al jawad, Finalis Duta Santri Nasional 2021, mahasiswa IAIN Sorong, Papua Barat
Hanya santri yang bisa memperekat NKRI