Resolusi Jihad merupakan seruan untuk mencegah dan menghalangi kembalinya tentara Kolonial Belanda yang membonceng pasukan NICA sebagai kelompok pemenang di Perang Dunia II. Kedatangan tentara Kolonial Belanda bermaksud untuk menguasai kembali bumi Nusantara. Tentu saja Bangsa Indonesia dan segenap pejuang kita kala itu tidak mau lagi berada dalam belenggu penjajahan.

Hasyim Asy’ari dalam Resolusi Jihad tertanggal 22 Oktober 1945―yang di kemudian hari menjadi tonggak ditetapkannya tanggal 22 Okrtober tersebut sebagi Hari Santri Nasional―menyatakan bahwa membela tanah air dari penjajah hukumnya fadlu ‘ain atau wajib bagi setiap orang. Para Kiai seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah, KH. Bisri Sansuri, Kiai Faqih, Kiai Ma’shum Lasem, dan lainnya kemudian mengerahkan para santri dan masyarakat sipil sebagai milisi perlawanan. Para santri memegang teguh amanah Resolusi Jihad yang dicetuskan oleh Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari. Seruan ini membakar semangat para santri yang kemudian melakukan serangan atas Brigade 49 Mahratta pimpinan Brigadir Jenderal Aulbertin Walter Sothern Mallaby.

Peristiwa 10 November 1945 diawali dengan Insiden perobekan bendera Belanda di Hotel Yamato pada 19 September 1945. Kemudian Presiden Soekarno memerintahkan gencatan senjata pada 29 Oktober 1945. Pertempuran kembali terjadi pada 30 Oktober 1945. Arek arek Suroboyo dengan tekad bulat menolak kembalinya penjajahan di bumi Indonesia. Peristiwa heroik ini melekat dalam ingatan bangsa Indonesia, berlangsung di dekat Jembatan Merah Surabaya. Saat hendak melintasi Jembatan tersebut, mobil Buick milik Brigadir Jenderal Mallaby dicegat sekelompok pemuda. Selanjutnya, seorang pemuda yang bernama Harun (santri pondok pesantren Tebuireng Jombang) melepaskan tembakan ke arah Mallaby. Dalam peristiwa tersebut, sang jenderal tewas.

Tewasnya Brigadir Jendral Mallaby kemudian menyulut kemarahan tentara Sekutu yang akhirnya berujung pada Peristiwa 10 November 1945. Mayor Jenderal Robert Mansergh mengeluarkan ultimatum yang menyebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas kepala. Batas ultimatum ini pukul 6.00 pagi tanggal 10 November 1945.

Arek-arek Suroboyo menganggap hal tersebut sebagai peghinaan terhadap para pejuang dan rakyat yang telah membentuk banyak badan perjuangan. Ultimatum tersebut ditolak mentah-mentah oleh pihak Indonesia sebab saat itu Republik Indonesia telah berdiri dan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) juga telah dibentuk sebagai pasukan negara.

Pidato Bung Tomo membakar semangat para pejuang untuk mempertahankan kemerdekaan hingga tetes darah penghabisan. “ Merdeka atau Mati “ adalah pekikan heroik Bung Tomo yang sangat berpengaruh dalam menggerakkan perlawanan rakyat Surabaya saat bertempur melawan penjajah. Setidaknya 6.000 – 16.000 pejuang Indonesia gugur dan 200.000 rakyat sipil mengungsi dari Surabaya. Pertempuran berdarah di Surabaya yang memakan ribuan korban jiwa tersebut kemudian menjalar pada pertempuran-pertempuran heroik di beberapa daerah seperti Bandung Lautan Api, Puputan Margarana, Palagan Ambarawa, Pertempuran Medan Area, Pertempuran Lima Hari di Semarang, Enam Jam di Jogja, dan berbagai perlawanan heroik lainnya.

Meski pertempuran Surabaya berakhir dengan kekalahan dari segi penguasaan wilayah, kemenangan Indonesia berada di segi mentalitas perjuangan dengan semangat nasionalisme yang tinggi. Daerah-daerah lain di Indonesia kemudian mengikuti kegigihan Arek-arek Suroboyo yang tak kenal takut melawan penjajah. Mereka tidak berhenti  mengobarkan semangat di berbagai daerah di Indonesia. Para pejuang tanah air Indonesia telah membuktikan bahwa di bawah tekanan apa pun, kemerdekaan dan keutuhan negara adalah hal yang tidak bisa dikompromikan.

Sebagai santri mileneal, hendaknya kita tidak hanya memperingati Hari Pahlawan kali ini dengan upacara formal belaka. Kita harus meneladani semangat para pejuang yang telah merelakan nyawanya demi bangsa dan negara tercinta; Indonesia. Maka sudah menjadi kewajiban kita sebagai santri untuk mempertahankan dan mengisi kemerdekaan yang sudah diraih dengan susah payah dengan prestasi membanggakan dan kontribusi maksimal untuk kejayaan NKRI.

Salah satu contoh kecil adalah generasi muda perlu membudayakan menulis. Dengan kemauan, motivasi, dan ketrampilan, maka menulis akan menjadi jejak kita yang abadi. Menulis pada prinsipnya adalah persoalan mengemukakan gagasan dalam bentuk tulisan, sedangkan gagasan akan banyak bermunculan saat kita banyak membaca. Jadi langkah awal yang harus dilakukan adalah membaca. Sebgaimana ayat Allah yang turun pertama kali, Iqra’ (bacalah). Membaca alam, membaca zaman, membaca perilaku, membaca yang tersurat maupun yang tersirat.

Menulis juga merupakan persoalan berbagi gagasan kita kepada dunia luar. Dengan menulis gagasan kita akan terus hidup, meski kita sudah mati. Sebagaimana narasi populer Orang boleh pintar setinggi langit, tetapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dari peredaran dan tak akan ditemukan oleh sejarah. Karena “menulis adalah bekerja untuk keabadian” (Pramoedya Ananta Toer).

Tidak bisa dipungkiri bahwa menulis merupakan kegiatan yang mampu menghantarkan kita dalam memiliki kompetensi berpikir. Penulis secara tidak langsung akan memikirkan tema atau fenomena apa yang akan dibahas lengkap dengan cara pandangnya. Sehingga hal ini akan berakibat pada munculnya pemikiran yang kreatif dan inovatif. Para ahli pendidikan mengatakan bahwa abad 21 membutuhkan kecakapan literasi dasar yang mencakup kemampuan baca tulis, numerasi, sains, mengelola keuangan, teknologi digital, serta memahami budaya dan kewarganegaraan Indonesia.

Jadi, santri mileneal hendaknya mampu memiliki kepekaan ilmu pengetahuan untuk kemudian melahirkan karya-karya yang membanggakan. Selamat berjuang!

(nurlaily f.)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here