Oleh: Siti Muyassarotul Hafidzoh, Litbang PW Fatayat NU DIY

Jejak ibu negara punya pengaruh besar dalam ke-Indonesia-an kita. Proklamasi kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, tak bisa dilepaskan dari sosok Fatmawati, istri Bung Karno. Usai sholat subuh, sejak pukul 05.00 WIB, pada 17 Agustus 1945, detik-detik kemerdekaan sudah sangat terasa. Riuh kebahagiaan rakyat menggema dimana-mana, terlebih di Jakarta. Para tokoh bangsa sudah tak bisa menahan rasa haru nan bahagia untuk memproklamasikan kemerdekaan. Perjuangan yang melelahkan di seluruh penjuru Nusantara menantikan detik-detik merdeka, merdeka seutuhnya untuk menentukan nasib bangsanya sendiri.

Di balik riuh kebahagiaan itu, Indonesia sempat kesulitan mencari kain untuk bendera, karena barang-barang ekspor masih dikuasai oleh Jepang. Disinilah Fatmawati berperan. Karena mempunyai akses dengan pembesar Jepang, Fatmawati akhirnya mendapatkan kain yang diidamkan rakyat untuk dikibarkan sebagai bendera. Setelah mendapatkan kain itu, Fatmawati menjahit bendera itu sendiri yang berukuan 2×3 meter. Bendera merah putih itulah yang akhirnya dikibarkan usai Bung Karno membacakan teks proklamasi.

Bendera yang dijahit Fatmawati itu dikibarkan setiap kali Indonesia memperingati hari kemerdekaan. 1945-1968, bendera itu berkibar dan mengabarkan ihwal jasa besar seorang Fatmawati. Sejak 1969, bendera itu tak lagi dikibarkan dan disimpan di Istana Merdeka, Jakarta. Ini karena ujung warna putih dan merah sempat sobek, bahkan sebagian ada yang bolong. Walaupun demikian, nama Fatmawati tak pernah berhenti dibaca dan dikenang anak bangsa, bukan semata karena ia yang menyiapkan dan menjahit bendera pusaka itu, melainkan juga etos perjuangannya menemani suami tercinta dalam mengabdikan diri kepada bangsa tercintanya.

Ketika Bung Karno resmi menjabat sebagai Presiden RI pada 18 Agustus 1945, Fatmawati bergelar sebagai ibu negara. Ibu negara merupakan gelar untuk pasangan kepala negara. Gelar ini tidak digunakan untuk pasangan perdana menteri atau kepala pemerintahan. Di Amerika Serikat, gelar ibu negara disandang bagi Nyonya Gedung Putih. Namun, di AS ada beberapa perempuan yang bukan istri presiden yang mendapatkan gelar ini, jika presiden adalah lajang atau duda, atau jika istri presiden berhalangan tetap atau tidak dapat memenuhi tugas ibu negara. Posisi itu biasanya diisi kerabat atau teman perempuan presiden. Hardiyanti Siti Rukmana, putri Soeharto, pernah menjadi ibu negara (1996-1998) menggantikan ibunya yang wafat pada 1996.

Penyeimbang sekaligus Penggerak

Ibu negara bukanlah gelar simbolik saja. Ibu negara menjadi penyeimbang sekaligus penggerak. Menjadi ibu negara, seorang perempuan menumpahkan segala kemampuannya untuk menyeimbangkan kerja-kerja berat yang dijalankan suaminya. Sosok Fatmawati adalah bukti nyata. Ia menemani detik-detik perjuangan Bung Karno menuju proklamasi dan detik perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Fatmawati bergerak sangat dinamis, menyeimbang jalan perjuangan suami, sekaligus menggerakkan kaum perempuan berjuang untuk kedaulatan NKRI.

Peran yang sama juga diperlihatkan Ibu Tien Seharto. Menemani suami di tengah transisi, Ibu Tien mampu menjaga harmonisasi dan kerukunan. Ia mendampingi Soeharto untuk menjaga dan menegakkan Pancasila sebagai dasar negara. Era pembangunan yang dicanangkan Soeharto juga menginspirasinya menggerakkan para ibu dalam PKK, ikut serta menggerakkan BKKBN, dan program pemberdayaan perempuan lainnya. Ia tak surut terjun di berbagai pelosok, menggelar pertemuan dengan perempuan di berbagai pelosok, dan mengorganisir kelompok kreatif perempuan.

Kelembutan sifat Ibu Tien menjadikan Soeharto terus bertahan. Maka, ketika wafat pada 1996, Soeharto seperti kehilangan tangga dalam menggerakkan pemerintahan. Kekosongan ibu negara yang diisi putrinya, Mbak Tutut, tai tidak mampu menjaga kharisma dan wibawa Soeharto sebagaimana pernah ditemani Ibu Tien. Wajar kemudian kalau Ibu Tien banyak disebut sebagai endog (telur) bagi lahirnya jagat orde barunya Soeharto. Terlepas dari berbagai kontroversi, Ibu Tien hadir menjadi oase perempuan yang memberikan kelembutan dan kesejukan semasa pemerintahan Soeharto.

Sementara Ibu Hasri Ainun Habibie dikenal sosok pendiam dan tak banyak bicara, tetapi mampu menegakkan ketegaran Habibie kala memimpin Indonesia di masa peralihan abad yang sangat sulit. Ia diam, tapi tegar dan kuat, sehingga Indonesia mampu mengakhiri masa peralihan dengan selamat. Adapun Sinta Nuriyah Wahid, meski memiliki keterbatasan fisik, justru kursi rodanya mampu menggerakkan tugas-tugas besar suaminya untuk mengelilingi dunia dalam rangka menjaga kedaulatan NKRI di mata internasional. Ibu Sinta juga dikenal sebagai aktivis perempuan yang gigih memperjuangkan kesetaraan.

Ibu Any Yodhoyono tampil membawa kegagahan suaminya untuk membangun demokrasi Indonesia yang makin maju dan progresif. Ibu Any yang hobi fotografi ini selalu menepis kalau dirinya mencampuri urusan kerja kepresidenan. Ia selalu mengatakan bahwa kehadirannya untuk membantu presiden dan menggerakkan kaum perempuan dalam mengisi kemerdekaan dengan meningkatkan prestasi dan meningkatkan peran dalam percaturan politik. Ia hadir agar perempuan menjadi penyangga martabat demokrasi Indonesia.

Karena kerja keras menjadi penyeimbang dan penggerak inilah, tak salah kemudian kalau Pos Indonesia meluncurkan perangko seri Ibu Negara RI pada 23 Juli 2015. Kala kaum perempuan bersuara bahkan berteriak untuk mengisi kemerdekaan Indonesia, maka jejak para Ibu Negara tak bisa dielakkan menjadi referensi khusus, karena jejak perjuangan mereka adalah jejak mengisi kemerdekaan di tengah jantung kekuasaan. Bukan saja mampu berdiri menjadi penyeimbang, tetapi juga mampu menjadi motor penggerak perubahan dan pemberdayaan perempuan di Indonesia.

Dari sini, perempuan harus bangkit untuk terus mengisi kemerdekaan Indonesia. Dengan tegas Bung Karno berkata kepada perempuan: “Wanita Indonesia, kewajibanmu telah terang! Sekarang ikutlah-serta-mutlak dalam usaha menyelamatkan Republik, dan nanti jika Republik telah selamat, ikutlah-serta-mutlak dalam usaha menyusun Negara Nasional. Di dalam masyarakat keadilan sosial dan kesejahteraan sosial itulah engkau nanti menjadi wanita yang bahagia, wanita yang Merdeka!”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here