Oleh: Muyassarotul Hafidzoh

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Ustadz Arifin Ilham yang berbahagia. Semoga Ustadz dan keluarga diberi kesehatan dan kelancaran urusan oleh Allah SWT. Amin.

Ustadz, memang isu terkait poligami ustadz ini sudah seminggu berlalu, dan setelah saya mengumpulkan keberanian, saya menuliskan surat ini. Karena saya merasa ini sangat penting untuk saya sampaikan. Semoga baik ustadz maupun pembaca yang lain sejenak mau merenungkan surat saya ini.

Ustadz, sudah beberapa waktu lalu setelah foto-foto ustadz beserta istri-istri tersebar di berbagai media, saya memiliki berbagai pertanyaan dalam benak saya. Semoga surat terbuka ini bisa memberikan jawaban untuk saya.

Ustadz, sebenarnya apa niat ustadz mempublikasikan foto dan video “poligami” ustadz beserta istri-istri?

Saya tidak akan membahas boleh tidaknya poligami, karena pembahasan tersebut selalu pro dan kontra. Yang setuju akan selalu menyandingkan dalil-dalil bolehnya poligami, atau selalu berdalih bahwa poligami adalah sunnah Rosulullah, karena Rosulullah juga poligami. Kemudian yang tidak setuju juga selalu berusaha menghidangkan dalil-dalil bahwa yang sunnah adalah monogami bukan poligami. Karena jika pesan ayat dalam surah an-Nisa tersebut adalah tidak akan bisa berbuat adil.

Ah, saya tidak perlu menjelaskan panjang lebar soal perdebatan itu, karena pasti semua orang sudah tahu, apalagi ustadz. Kembali lagi yang ingin saya tanyakan adalah Apa niat ustadz mempublikasikan foto dan video “poligami” ustadz beserta istri-istri?

Dalam benak saya, jawaban-jawaban dan prasangka-prasangka muncul berloncatan ke sana kemari. Semoga apa yang saya pikirkan tidak sesuai dengan jawaban ustadz. Saya melihat ustadz seakan-akan ingin menunjukkan bentuk kebahagiaan dalam keluarga poligami.

Ustadz, kenapa yang saya rasakan adalah kesedihan. Mungkin yang ingin diperlihatkan ustadz adalah ketaatan seorang istri terhadap suaminya, keikhlasan seorang istri untuk membagi suaminya dengan yang lain sehingga mereka termasuk istri sholihah yang dijamin masuk surga. Kemudian saya berfikir bahwa niat ustadz mempublikasikan foto dan video tersebut untuk memuliakan perempuan.

Tetapi, prasangka lain masih meloncat-loncat dalam benak saya. Muncul lagi pertanyaan-pertanyaan ini; Apakah ustadz pernah mendengar tangisan perempuan yang tidak mampu menerima keputusan suaminya untuk poligami? Apakah ustadz pernah mendengar jeritan hati perempuan yang tidak berdaya menerima keputusan suami untuk poligami? Mereka menangis dalam kekosongan jiwa. Saya pernah mendengar tangisan tersebut.

Kemudian, Apakah ustadz pernah menatap mata seorang ibu yang menerima dengan pasrah lantaran menantunya berpoligami, bahkan seorang ibu ini mengalami rasa sakit dalam batin dan raganya? Saya pernah menatatap mata tersebut.

Saya jadi teringat salah satu hadist Nabi Dari Mishwar bin Makhramah berkata :

قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ إِنَّ بَنِي هِشَامِ بْنِ الْمُغِيرَةِ اسْتَأْذَنُوا فِي أَنْ يُنْكِحُوا ابْنَتَهُمْ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ فَلَا آذَنُ ثُمَّ لَا آذَنُ ثُمَّ لَا آذَنُ إِلَّا أَنْ يُرِيدَ ابْنُ أَبِي طَالِبٍ أَنْ يُطَلِّقَ ابْنَتِي وَيَنْكِحَ ابْنَتَهُمْ فَإِنَّمَا هِيَ بَضْعَةٌ مِنِّي يُرِيبُنِي مَا أَرَابَهَا وَيُؤْذِينِي مَا آذَاهَا

“Aku mendengar Rasulullah Shollallohu ‘alaihi wasalam bersabda di atas minbar: “Bani Hisyam bin Mugiroh meminta ijin kepadaku agar Ali menikahi salah satu putri mereka, aku tidak mengijinkan, aku tidak mengijinkan, aku tidak mengijinkan kecuali Ali menceraikan putriku dan menikahi anak mereka. Dia Fatimah adalah bagian dari diriku, aku terganggu jika ada yang mengganggunya, aku tersakiti jika ada yang menyakiti Fatimah.” (HR Bukhari – Muslim)

Ustadz, membaca hadist tersebut membuatku mengira bahwa perasaan ibu tersebut sama dengan apa yang dirasakan Rosulullah. Aku selalu ingin menangis mengingatnya. Saya takut ustadz, banyak laki-laki yang ketika melihat foto dan video ustadz, mereka semakin berani untuk melakukan ketidak-adilan kepada keluarganya. Saya pernah mendengar penjelasan dari Ustadz Imam Nakha’i tentang makna keadilan. Dalam praktek poligami sering disebut dua kata sekaligus untuk menggambarkan keadilan. Wa inkhiftum ala ta’dilu dan wa inkhiftum ala tuqsitu. Namun, kemudian yang banyak disalahpahami adalah biasanya keadilan hanya perspektif laki-laki saja. Misal ketika laki-laki ditanyai “Kenapa kamu poligami? Apa kamu mampu berbuat adil?” laki-laki tersebut menjawab “saya mampu berbuat adil”, jadi yang ditekankan hanya “saya”, seharusnya keadilan itu adalah perspektif banyak orang. Jadi ketika ditanya tentang keadilan maka itu milik seluruh orang yang terlibat.

Dalam pemaknaan saya, bukan hanya suami yang dituntut adil dengan istri-istrinya,akan tetapi adilkah dengan keluarga istri-istrinya, adilkah dengan anak-anaknya, adilkan dengan lingkungan sekitarnya.

Memuliakan Perempuan

Ustadz, dalam cuplikan video, ustadz menjelaskan pilar keluarga sakinah adalah ketakwaan kepada Allah SWT. Tapi ustadz tidak menyebut pilar keluarga sakinah adalah memamerkan kepada orang banyak tentang berapa istrinya? Bukan pula pilar keluarga sakinah adalah dengan berpoligami. Di sana ustadz menekankan pada ketakwaan kepada Allah, memberi ketenangan, kedamaian dan kebahagiaan. Apakah niat ustadz mempublikasikan foto dan video tersebut untuk ketenangan, kedamaian dan kebahagiaan? Untuk siapa? Saya khawatir banyak keluarga yang kemudian tidak tenang, tidak damai bahkan tidak bahagia ketika melihat foto dan video tersebut. Ustadz publik figur, banyak yang menjadikan ustadz sebagai teladan. Apakah poligami ustadz juga untuk diteladani? Saya lebih merasa banyak perempuan-perempuan semakin tidak tenang dan terancam ketika suaminya meneladani perilaku poligami ustadz. Mungkin Ustadz bisa berbuat adil, dan memiliki pengetahuan agama tinggi, akan tetapi tidak semua laki-laki seperti ustadz.

Berbicara tentang ketakwaan kepada Allah SWT, saya jadi teringat dengan Ulama Perempuan yang semua orang tahu, bahwa dia sangat dekat dengan Allah SWT. Siapa lagi kalau bukan Rabi’ah al-Adawiyah. Dalam kitab Durrotun Nasihin karya Syekh Usman Al-Khoubary, halaman 22, dijelaskan kisah berikut ini :

Parasnya yang cantik dan menawan membuatnya didekati banyak laki-laki, apalagi sesaat setelah kematian suaminya. Salah satunya adalah Hasan Al-Basri, seorang ulama terkenal di masanya. Hasan al-Basri datang hendak melamar Rabi’ah dan dia diberi beberapa pertayaan yang harus bisa dijawabnya sehingga Rabi’ah baru bisa menerima lamarannya. Pertanyaan dari Rabi’ah adalah: “Kapankah saya akan meninggal? Ketika di alam kubur apakah saya mendapatkan nikmat kubur atau siksa kubur? Ketika saya menerima buku amal perbuatan di akhirat, apakah saya menerima dengan tangan kanan atau tangan kiri? Dan apakah setelah amal saya dihisab, saya masuk neraka atau masuk surga?”

Begitu pertanyaan disampaikan, Hasan al-Basri tidak mampu menjawab keseluruhan pertanyaan Rabi’ah. Kemudian Rabi’ah berkata, “Akal saya cuma satu, akan tetapi saya mampu menjaga sembilan nafsu saya. Sedangkan akal anda sembilan, akan tetapi kenapa tidak mampu menjaga nafsu anda yang hanya satu?”

Rabiah adalah salah satu ulama yang ketakwaannya bisa kita contoh bersama. Kecintaannya kepada Allah SWT diutarakan dengan tidak mau menduakan Allah SWT. Ketulusan cintanya mengantarkannya menjadi kekasih Allah SWT.

Saya jadi rindu ulama-ulama yang selalu meneduhkan dan menenangkan umatnya. Salah satunya adalah KH. Abdullah Salam, Kajen Pati Jawa Tengah. Begitu setianya beliau dengan Ibu Nyai yang selalu menemani perjuangan beliau untuk mengayomi santri dan masyarakat. Begitu banyak santri-santrinya yang berprestasi, ribuan santrinya yang menajadi orang sukses, ratusan santrinya yang mendirikan dan mengasuh pesantren. Prestasi-prestasi ini ketika dipublikasikan begitu membuat ketenangan dan kebanggaan bagi umat muslim. Akan tetapi beliau selalu menjaga muru’ahnya, kesuksesan yang beliau raih hampir tidak pernah beliau pamerkan kepada masyarakat. Akan tetapi, masyarakat mengetahui dengan sendirinya, dan begitu takdzim kepada beliau.

Ah, sudah banyak yang saya tulis. Tetapi saya masih penasaran dengan jawaban dari ustadz. Apa niat ustadz mempublikasikan foto-foto dan video kehidupan poligami ustadz? Semoga bukan karena merasa bangga, karena menurut saya poligami bukan sebuah prestasi.

Sekian surat terbuka dari saya, apabila ada salah, dengan tulus saya mohon maaf. Terima kasih.

Ihdinos shirothol mustaqim.

Wallahulmuwafiq Ila Aqwamith thariq….

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Hormat Saya:

Muyassarotul Hafidzoh, Guru TPA Masjid Azzahrotun Wonocatur Banguntapan Bantul.
bangkitmedia.com

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here