Nyai Hj Khusnul Khatimah Warsun Ulama Al Qur’an Pencetus Kemandirian Pesantren

Oleh: Nurul Lathiffah

Fatayatdiy.com – Hj. Khusnul Khatimah Warsun atau akrab disapa Ibu Nyai Warsun merupakan salah satu ulama perempuan kelahiran Purworejo yang banyak melahirkan hafidzah. Pernikahannya dengan putra ulama besar K.H. Moenawwir pada tahun 1970 menjadi penanda tonggak sejarah berharga. Meski pada episode awal pernikahan sempat merasa nelangsa karena K.H. A. Warsun sibuk dengan berbagai organisasi dan upaya penyelesaian menyusun Kamus, Ibu Nyai Warsun tetap bersabar dan menjalani bahtera rumah tangga. Sebagai seorang istri kiai muda yang aktif berorganisasi dan sedang dalam proses menyelesaikan maha karya Kamus Al Munawwir, Ibu Nyai Warsun harus ikhlas hati ketika harus kehilangan banyak waktu bersama suami. Kesabarannya pun membuahkan hasil, Kamus Al Munawwir yang pungkas disusun Kiai Warsun hingga kini menjadi rujukan utama para santri Nusantara, bahkan mancanegara.

Usia Ibu Nyai Warsun dan Kiai Warsun terpaut jauh. Wajar adanya, bila Ibu Nyai Warsun diwarnai jiwa kekanakan mengingat usianya yang masih sangat belia. Meski begitu, kesabaran dan kasih sayang Kiai Warsun menjadi pemupuk kedewasaan dan kebijaksanaan Ibu Nyai Warsun. Terlebih, mertua beliau—Nyai  Hj Sukis—yang merupakan istri dari Ulama besar KH. Moenawwir sangat menyayangi Ibu Nyai Warsun yang notabene merupakan menantu pilihan.

Sebagai istri seorang kiai kharismatik, Ibu Nyai Warsun berusaha untuk menjadi figur dalam versi terbaik. Bahkan, Ibu Nyai Warsun gigih menimba ilmu agama kepada suami. Kepada Kiai Warsun, Ibu Nyai Warsun rutin mengaji sorogan. Ibu Nyai Warsun selalu sigap dalam mendampingi perjuangan suami. Ketika Kiai Warsun mendirikan komplek pesantren khusus putri yang diberi nama Komplek Q pada tahun 1989, Ibu Nyai Warsun fokus membimbing para santri program tahfidzul Qur’an. Banyak para santri penghafal al-Qur’an di komplek Q yang juga menempuh kuliah di berbagai Perguruan Tinggi terkemuka, semisal UGM, UIN, UAD, dan lain sebagainya. Ibu Nyai Warsun membimbing para santri untuk mengatur waktu, dan juga memberikan wejangan serta motivasi kepada para santri untuk menyelesaikan pendidikan di pesantren dan juga universitas.

Selain piawai mencetak hafidzah yang kini telah tersebar di berbagai penjuru Nusantara, Ibu Nyai Warsun pun berhasil mendidik anak-anaknya menjadi hafidz dan hafidzah. Ibu Nyai Warsun pandai menyemai benih cinta Al-Quran kepada buah hati. Interaksi akrab sang ibunda dengan Al-Quran telah memberikan teladan  kepada Gus Fairuz dan Ning Qorry Aina. Berkah motivasi berbalut kasih sayang yang dicurahkan Ibu Nyai Warsun, Gus Fairuz dapat mengkhatamkan hafalan Al-Quran hanya dalam waktu 7 bulan. Sang putra juga berhasil menyusun Kamus Al-Munawwir Indonesia-Arab bersama abahnya. Sementara itu, Ning Aina berhasil menyelesaikan hafalan selama dua tahun. Ning Aina menghafalkan Al-Quran sambil menyetir mobil.

Perjuangan Ibu Nyai Warsun mendampingi Kiai Warsun tidak hanya berhenti pada mengajar Al-Quran, namun juga dalam hal mengembangkan usaha pondok pesantren.  Sejak awal pernikahan, jiwa enterpreuner Ibu Nyai Warsun sudah tampak. Terbukti, Ibu Nyai Warsun berinisiatif membeli mobil colt yang beroperasi sebagai kendaraan kampus. Kebetulan pada saat itu, Kiai Warsun menekuni bisnis jual beli mobil. Pada masanya mobil colt, yang dibeli Ibu Nyai Warsun merupakan kendaraan legendaris utama bagi masyarakat, termasuk  para santri.

Nyai Hj Khusnul Khatimah Warsun Ulama Al Qur’an Pencetus Kemandirian Pesantren

Ibu Nyai Warsun sangat dalam fokus mengelola pesantren, bahkan merambah hingga usaha perekonomian pondok,  yakni Q-mart, air mineral komplek Q yang dinamakan Moya-Q, serta usaha butik. Ibu Nyai Warsun merupakan ulama Al-Quran yang mencetuskan kemandirian pesantren. Di bawah pengasuhan beliau, komplek Q menjadi pesantren yang kaya akan nilai-nilai enterpreneurship.

Ibu Nyai Warsun adalah icon ulama perempuan yang fokus mendidik santri dan mengajar Al-Quran, namun tetap berhasil menanamkan jiwa kemandirian pesantren. Meski Ibu Nyai Warsun sangat piawai dalam berbagai hal, beliau tidak terjun ke dalam kancah organisasi atau politik. Meski tak terlibat dalam organisasi, Ibu Nyai Warsun tetap memberikan andil dalam hal pendidikan agama kepada kaum perempuan di sekitar pesantren.

Dalam keseharian, ulama perempuan yang menjadikan Al-Quran sebagai wirid keseharian ini sangat menghargai waktu. Ibu Nyai Warsun memiliki jam istirahat yang teratur demi menjadi pelita Al-Quran bagi para santri. Beliau juga sangat memperhatikan kebersihan. Tidak mengherankan jika komplek Q termasuk dalam list pondok pesantren yang bersih, rapi, dan tertata apik.

Ibu Nyai Warsun memiliki perhatian besar terhadap gaya hidup sehat. Beliau rutin berolahraga, sekedar jalan-jalan pagi untuk menjaga kebugaran. Beliau juga terbiasa bangun malam sekitar jam dua. Di sepertiga malam terakhir, beliau shalat dan melangitkan doa-doa. Menjelang Adzan Subuh berkumandang menggetarkan langit Krapyak,  Ibu Nyai Warsun terbiasa membangunkan para santri dengan  mengetuk pintu-pintu kamar. Setelah mengimami jamaah Shalat Subuh, beliau mengajar Al-Quran para santri yang sudah membentuk antrian berjajar dua baris ke belakang,  baik bin nadzri atau bil hifdzi.  Meski bangun sangat dini, pantang bagi Ibu Nyai Warsun tidur setelah Subuh dan Ashar. Itulah sebabnya, beliau terlihat bugar dan awet muda.

Dalam hal kemasyarakatan, Ibu Nyai Warsun dikenal sebagai ulama perempuan yang dermawan. Setiap Ramadhan, Ibu Nyai Warsun selalu menyedekahkan paket sembako pada warga sekitar pesantren, tukang becak, dan kaum dhuafa lainnya. Bahkan, Ibu Nyai Warsun juga sering memberikan buah tangan pada para alumni yang sowan untuk meminta doa, nasihat, dan pertimbangan.

Hal yang mengagumkan dari Ibu Nyai Warsun adalah, bahwa beliau sangat memperhatikan pendidikan para santri ndalem. Satu frekuensi dengan Kiai Warsun yang sangat peduli pada pendidikan formal, Ibu Nyai Warsun juga mendukung santri ndalem untuk melanjutkan sekolah, bahkan hingga perguruan tinggi. Tidak hanya dukungan berupa doa restu saja yang beliau berikan, namun juga dukungan finansial sehingga santri ndalem bisa tetap melanjutkan pendidikan. Tak semua ulama memiliki perspektif yang begitu jernih dalam memandang pendidikan formal. Tak jarang, ulama perempuan lebih senang bila santri ndalem fokus untuk mengaji dan mengabdi. Namun, pandangan klasik semacam itu tak berlaku bagi Ibu Nyai Warsun.

Ibu Nyai Warsun harus kehilangan suami tersayang pada tanggal 7 Jumadil Akhir tahuan 1434 (18 April 2013). Ribuan pentakziah dan alunan tahlil mencoba menghibur beliau yang kala itu dipenuhi rasa kehilangan. Setelah selama bertahun-tahun melewati masa perjuangan bersama menghidupkan agama, Kiai Warsun berpulang diiringi rintik tangis kehilangan. Meski begitu, Ibu Nyai Warsun mencoba tegar dan lebih tangguh. Bersama putra-putri dan para menantu, beliau pun perlahan bangkit memajukan pondok pesantren.

Sembari terus membimbing santri remaja, berkat kegigihan Ibu Nyai Warsun, komplek Q terus berkembang dengan menerima santri cilik untuk dicetak sebagai penghafal Al-Quran. MTPA (Madrasah Tahfidz Putri Anak-anak) Al Munawwir Komplek Q adalah bukti kepiawaian Ibu Nyai Warsun dalam mengasuh pesantren. Tak hanya MTPA, Ibu Nyai Warsun juga memprakarsai pendirian MI Tahfidz El Muna yang berhasil mencetak hafidzah-hafidzah cilik.

Ibu Nyai Warsun adalah figur ulama perempuan, yang setia merawat cinta suci pernikahan dengan suami yang sudah terpisah ruang-waktu dengan bakti yang ikhlas, tulus, dan gigih. Ibu Nyai Warsun tetap gigih meneruskan perjuangan yang pernah dirintis bersama.

Demikian Nyai Hj Khusnul Khatimah Warsun Ulama Al Qur’an Pencetus Kemandirian Pesantren. Semoga bermanfaat.

Penulis: Nurul Lathiffah, M. Psi, Guru Ngaji Madrasah Diniyah Baitul Hikmah

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here