Akhir-akhir  ini marak di berbagai media sosial tentang fonemena pernikahan di usia yang masih sangat muda, bahkan masih masuk dalam kategori pernikahan anak.

Dalam ranah sosial,  pernikahan anak  berdampak pada meningkatnya angka perceraian, karena  kondisi psikologis remaja yang masih labil. Berdasarkan survei Indonesia Demographic and health tahun 2012 menjelaskan bahwa percerain pada pernikahan anak mencapai angka 50%, belum lagi aspek-aspek lain yang mengiringinya seperti kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) dan pemaksaan hubungan seksual.

Selain itu, anak dipaksa menjadi dewasa dengan kemampuan pengasuhan yang masih terbatas. Bisa juga kedewasaan yang belum matang sehingga ketika ada konflik dalam rumah tangga, mereka tidak memiliki kemampuan untuk menangani konflik yang bisa berujung pertengkaran bahkan perceraian.

Pernikahan anak yang terjadi baik itu pihak laki-laki maupun pihak perempuan masih menimbulkan problem sosial. Di usia tersebut dunia anak masih sangat dibutuhkan mereka, cita dan asa masih membentang seluas cakrawala. Mengenal perbedaan, mengenal keragaman, mengenal dirinya sendiri harus dimiliki orang masing-masing anak.

Jika mereka menikah di usia muda bahkan belum menyelesaikan masa pendidikannya, maka semua itu bisa menghambat cita-citanya. Ini jelas menyalahi konsensus kehormatan  manusia yang digagas oleh Imam al-Ghozali, yakni:

حفظ العقل، حفظ النفس، حفظ المال

Pernikahana adalah peristiwa sakral dan memiliki tujuan mulia, tidak sekedar untuk mewariskan keturunan semata. Kenapa demikian? Karena saat ini banyak mayarakat yang memaknai pernikahan hanya sekedar untuk menghindari zina atau untuk memliki keturunan sebanyak banyaknya.

Hal ini juga dimanfaatkan oleh kaum radikal, karena pemahaman yang diyakininya bahwa ketika perempuan sudah haidh maka segera dinikahkan untuk mempercepat lahirnya jundullah-jundullah (tentara) dalam rangkat mewujudkan umat yang kuat ketika menghadapi peperangan.

Harapan kita semua adalah mewujudkan negara yang damai dan aman, bukan negara yang penuh kebencian dan permusuhan. Ketika laki-laki dan perempuan yang sudah matang usianya, matang pendidikannya, siap secara mental dan spiritual maka mereka bisa menjadi umat yang kuat. Bagi perempuan bisa menjadi madrasatul ula bagi keturunannya sehingga melahirkan generasi yang berkualitas dan keluarga sakinah mawaddah wa rohmah, sehingga negara kita menjadi baldatun thoyyibatun wa robbul ghofur.

Wallahu’alam

Ibu Nyai Hj. Afwah mumtazah, Pengasuh Pondok Pesantren Kempek Cirebon.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here