Kisah Tumbuhnya Cinta
Fatimah Rahmawati, itulah nama perempuan yang sangat dicintai Gus Ahmad Syauqi putra kiai Nadzir Muhammad pengasuh pesantren Al-Falah Pati Jawa Tengah. Pesantren inilah yang menyemalatkan Fatimah Rahmawati alias Farah dari pernikahan dini yang tidak dia inginkan.
***
Beberapa tahun yang lalu.
Hari pertama dia menginjakkan kaki di pesantren, Farah sudah mendapatkan masalah besar. Dia harus berurusan dengan ummi dan abah.
Pagi itu dia dijemput Sari menuju pesantren. Ibunya tidak bisa ikut mengantar lantaran harus menjaga bapaknya yang sedang sakit. Sari meminjam motor ndalem untuk menjemputnya.
Sesampainya di pesantren, Sari langsung mengajak Farah bertemu abah dan ummi. Farah merasa senang akhirnya dia selamat dari rencana ibunya yang akan menikahkannya dengan anak teman bapaknya.
Mata Farah tak berhenti memandang sekeliling. Dia memperhatikan betul dari sudut ke sudut lingkungan ndalem dan pesantren.
Bangunan rumah kiai memiliki dua lantai namun rumah kiai tampak sederhana dan cukup sejuk karena di depannya ada pohon mangga yang cukup besar. Farah juga melihat ada sebuah jendela di lantai dua.
Yang membuat Farah terusik adalah beberapa burung cantik yang ada dalam sangkar-sangkar yang indah. Cukup lama Farah menatap burung-burung tersebut.
“Kenapa nduk? Cantik ya burungnya? Kalau pagi suaranya juga indah,” kata Sari.
“Cantik mba, tapi sayang….”
“Ssstt diem, ummi menuju ke sini,” kata Sari yang kemudian menundukkan wajahnya.
Seorang perempuan cantik nan anggun mendekati mereka. Farah memandang Ummi dengan perasaan luar biasa. Dia tidak menyangka melihat sosok perempuan begitu cantik, tinggi putih, berhidung mancung, berbibir merah dan tipis, berjalan sangat anggun.
“Cantik sekali…” bisik hati Farah.
“Assalamualaikum Ummi, niki adik sepupuh Sari, namanya Fatimah Rahmawati.” Sari mencium tangan Ummi begitupun Farah.
“Wa’alaikumussalam, selamat datang di pesantren ini ya mba Fatimah,” kata Ummi.
“Ngapunten, panggilan saya Farah,” kata Farah dengan polosnya, dan Sari mencubit lengannya dengan pelan. Memberi tanda pada Farah untuk lebih sopan dengan Ummi.
“Oh, maaf kalau ummi salah sebut. Selamat datang mba Farah…”
Farah tersenyum manis mendengar kalimat Ummi, Sari merasa canggung dan malu dengan sikap adik sepupuhnya.
Setelah beberapa saat, akhirnya Farah dan Sari diizinkan menuju kamar yang akan ditempati Farah.
“Kamarmu ini, kamarnya mba Sari di sebelah. Di ndalem ada dua kamar, tiap kamar ada lima santri, mereka punya tugas berbeda-beda. Karena kamu juga sekolah jadi tugasmu hanya angkat jemuran setelah pulang sekolah kemudian menyetrika semua pakaian keluarga ndalem.” Farah mengangguk mengerti dengan tugasnya.
“Koq sepi ya mba?”
“Iya kan masih pada liburan, minggu depan baru pada balik pondok. Kamu juga masuk sekolah minggu depan.”
“Oh iya ya mba,” kata Farah.
Siang harinya setelah dia selesai mengangkat jemuran dan hendak menyetrika, pikirannya berlari ke burung-burung cantik yang berada di sangkar yang dia lihat di teras ndalem. Setelah menaruh pakaian di kamar, dia kembali berlari ke teras ndalem.
Farah berdiri memandangi burung-burung tersebut. Kebetulan suasana di ndalem sangat sepi, biasanya jam segitu Ummi dan Abah di dalam kamar atau di ruang tengah.
“Kasian banget mereka, aku tidak suka ada makhluk hidup yang terkurung.”
Farah mendekati salah satu sangkar burung dan mengambil sangkar tersebut. Dia menaruhnya di bawah.
“Kamu pasti ingin terbang bebas,” kata Farah
“Tapi sayang kamu tidak bisa karena terkurung di sini.”
Saat Farah sedang asik berbicara sendiri dengan burung, Gus Syauqi keluar dari ndalem. Gus Syauqi menghentikan langkahnya di pintu dan memperhatikan Farah.
“Kalau aku lepasin kamu, kira-kira kamu akan pergi jauh? Ehmm…. kamu burung yang cantik, aku bisa kangen lihat kamu kalau kamu terbang jauh. Gimana kalau kamu janji, walau aku nglepasin kamu, tapi kamu masih terbang di sekitar sini, atau kamu bikin rumah di pohon mangga itu,” kata Farah sambil menunjuk pohon mangga. Gus Syauqi yang melihat tingkah aneh Farah tersenyum.
“Oke, kamu dah mengangguk, aku akan melepaskanmu dan teman-temanmu yang lain.” Farah membuka pintu sangkar dan mengambil burung tersebut. Gus Syauqi yang melihat itu langsung memanggi Farah dan mencegah Farah melepaskan burung, tapi terlambat. Farah dengan cepat membuka telapak tangannya dan membiarkan burung tersebut terbang. Farah terlihat sangat bahagia. Dia masih belum menyadari kalau Gus Syauqi sudah di belakangnya.
“Farah, apa yang kamu lakukan?” tanya Gus Syauqi dengan suara pelan, khawatir ummi dan abahnya yang sedang di ruang tengah mendengarnya.
“Hai mas, eh Gus, aku kasian sama burung itu jadi aku lepasin dia. Aku juga mau lepasin yang lain,” kata Farah sambil berencana mengambil sangkar yang lain.
“Eit tunggu, tunggu! Sebaiknya kamu segera ke kamarmu.”
“Kenapa?” tanya Farah
“Farah, ini perintah, segera ke kamar!” kalimat Gus Syauqi sedikit tegas.
“Iya, iya, santri harus patuh sama gusnya,” kata Farah sambil berlalu pergi.
Syauqi bingung apa yang akan dia lakukan, burung kesayangan ummi dan abahnya dilepas begitu saja sama santri yang baru datang pagi tadi.
“Sedang apa Qi?” tanya Ummi yang berjalan mendekati gus Syauqi. Gus Syauqi terlihat gugup melihat ummi.
“Lho, burungnya koq gak ada, kemana?”
Gus Syauqi menarik nafas dan berbisik dalam hati, maaf ummi, Syauqi harus bohong sama Ummi.
“Tadi Syauqi tidak sengaja menjatuhkan sangkarnya dan burungnya lepas,” kata Gus Syauqi penuh kecemasan. Selain dia cemas karena bohong sama umminya, dia juga cemas kalau Ummi dan Abah tahu yang lepasin burung adalah Farah, bisa jadi Farah tidak boleh tinggal di pondok lagi.
Ummi segera memberitahu abah kalau burung kesayangan mereka lepas karena kesalahan putranya. Kembali Gus Syauqi berbohong kepada abahnya.
Beberapa saat kemudian, Sari dan Farah masuk ke ndalem dan menuju ruang tengah. Di sana masih ada Abah, Ummi dan Gus Syauqi.
Sari memohon maaf pada Ummi dan Abah, lantaran kesalahan adik sepupuhnya. Dengan polosnya, Farah bercerita pada Sari kalau baru saja melepaskan burung yang ada di dalam sangkar. Sari sangat marah dan malu dengan apa yang dilakukan adiknya.
Ummi dan Abah yang mendengar penjelasan Sari terheran dan memandang Gus Syauqi. Mereka melihat raut wajah putranya yang pucat dengan dahi yang mengerut karena sudah ketahuan berbohong pada mereka.
“Jadi Farah yang melepaskan burungnya?” tanya Abah pada Farah.
“”Nggih bah, Farah kasian sama hewan yang terkurung.”
“Kamu tahu gak mba, burung itu pemberian temannya abah, Kiai Umam. Tiap pagi ummi senang mendengar kicauannya. Kenapa kamu lepas? Kalau bukan pemberian Kiai Umam, kami bisa beli lagi di pasar hewan. Tapi ini?” kata Ummi dengan nada sedikit marah.
“Farah sudah bilang kalau Farah kasian sama burung itu ummi.” Sari mencubit lengan Farah, menyuruhnya diam.
“Jangan menimpali dulu ketika Ummi dawuh! Cepat minta maaf!” bisik Sari pada Farah.
“Farah minta maaf Ummi… Tapi burung itu sudah janji sama Farah kalau dia tidak akan terbang jauh. Insyaallah besok Ummi mendengar kicauannya lagi,” kata Farah dengan polos.
“Bagaimana mungkin kamu bisa berbicara dengan burung, mba Farah….” kata Ummi dengan nada yang masih sama.
Abah dan Gus Syauqi jusru malah tersenyum mendengar apa yang dikatakan Farah.
“Sudah Mi, kita maafkan saja dia. Ya sudah nduk, kembali ke kamar kalian ya,” kata abah.
Sari kembali meminta maaf atas nama adik sepupuhnya dan menarik lengan Farah mengajaknnya kembali ke kamar mereka.
Setelah Farah dan Sari meninggalkan mereka, Ummi mencubit Gus Syauqi.
“Aduh Ummi…”
“Kenapa kamu bohong sama Ummi?” kata Ummi.
Abah mengambil tongkatnya dan memukul kaki Gus Syauqi.
“Jangan pernah berbohong lagi!” kata Abah cukup keras.
Abah akan bersikap keras ketika anak-anaknya melakukan kesalahan yang besar. Bagi Abah bohong adalah kesalahan yang besar.
“Maaf Abah, Ummi, saestu Syauqi minta maaf. Syauqi hanya takut Farah akan dikeluarkan dari pondok dihari pertamanya. Karena Syauqi yang memohon ke Abah untuk menerima dia, jadi Syauqi tiba-tiba ingin menutupi kesalahannya,” kata Gus Syauqi.
“Tidak perlu kamu menutupi kesalahan seseorang jika kamu mengkhawatirkannya, justru selamatkan dia dari kesalahan yang telah dilakukannya dengan cara menyadarkannya,” kata Abah.
“Njih abah, sendiko dawuh.” Gus Syauqi menyesal dengan apa yang dilakukannya kepada Abah dan Umminya.
***
Hari kedua saat Gus Syauqi sedang menikmati buku pemberian kakaknya yang berjudul Fiqh Sosial karya KH. Sahal Mahfudh. Kakaknya yang bernama Gus Ahda sedang menuntut ilmu di Pesantren Kiai Sahal di desa Kajen. Dulu Abah juga ingin mengantar putra keduanya satu pesantren dengan putra pertamanya, tapi Gus Syauqi menolak, dia tidak ingin mondok, dia beralasan ingin belajar langsung dengan abahnya. Sebagai gantinya Gus Syauqi harus mematuhi semua arahan abahnya dalam mendalami ilmu, dia juga harus mau mengaji secara mandiri kepada paman-pamannya yang lulusan Lirboyo, Sidogiri, Tebu Ireng, juga dari kakak sepupuh-sepupuhnya yang lulusan timur tengah. Karena komplek kawasan pesantren sangat luas, dan ndalem utama adalah yang ditempati Abah dan Ummi, Gus Syauqi rela bersepeda menuju komplek – komplek pesantren kediaman saudara-saudaranya tersebut.
Padatnya jadwal yang diberikan abah, membuatnya tidak banyak memiliki teman, juga cenderung pendiam, hampir tak peduli dengan kegiatan lain selain yang berkaitan dengan mengaji atau membaca buku. Kehidupannya sama halnya seperti santri lain bahkan lebih padat jadwalnya. Selain itu, abahnya juga tidak memberikan fasilitas Hp maupun internet, sebelum dia lulus Aliyah. Jika dia merasa jenuh, yang dilakukannya adalah bersepeda menuju sawah dan duduk di pinggir jalan sambil menikmati angin semilir dan pemandangan persawahan yang membentang. Di sanalah pertama kali dirinya bertemu dengan Farah.
Gus Syauqi tersenyum ketika bacaannya sudah sampai halaman 134, di mana di sana ada kalimat yang sama persis artinya dengan apa yang dikatakan oleh Farah. “Kenapa ritual agama kita hanya berhubungan dengan ritual langit padahal kita khalifah di bumi ini?”
Kalimat Farah itulah yang membuatnya penasaran dan akhirnya dia menghubungi kakaknya.
“Nanti tak kirimi bukune kiaiku, cari saja jawabannya di sana!” begitu jawaban Gus Ahda. Buku itulah yang sedang dibacanya.
Ketika sedang larut membaca, ada suara yang cukup mengganggunya berasal dari pohon mangga di depan rumahnya. Pohon mangga yang tumbuh tinggi dan lebat hingga ranting daunnya menjalar sampai di depan jendela kamar Gus Syauqi bergerak gerak terus. Gus Syauqi menaruh bukunya dan melihat ada apa dengan pohon tersebut.
Betapa terkejutnya, Gus Syauqi melihat Farah berada di atas pohon mangga. Dia melihat ke bawah dan ternyata ada tangga yang menempel di pohon mangga.
“Ssssttt…. hey….. sssttt… hey Farah!” Panggil Gus Syauqi.
“Hay gus…’’ kata Farah sambil melambaikan tangan.
“Ngapain kamu?” tanya gus Syauqi.
Farah meminta Gus Syauqi untuk diam dengan memberi isyarat menutup mulutnya. Gus Syauqi pun menurutinya.
Gus Syauqi melihat Farah mengeluarkan keranjang dari tasnya, tapi benda tersebut bentuknya seperti sarang burung yang terbuat dari ranting-ranting dan beberapa potongan kertas sebagai alasnya. Farah menaruh sarang tersebut dengan baik dan menaruh beberapa jagung dan beras ke dalam sangkar tersebut.
Gus Syauqi masih penasaran dengan apa yang dilakukannya.
“Farah, apa itu? Ngapain naruh itu di situ.”
Kembali Farah memberi isyarat untuk tidak mengeluarkan suara. Tapi Gus Syauqi masih terus bertanya dan berteriak. “Hey,ngapain kamu?”
Farah takut suara gusnya bisa mengundang orang lain dan memergokinya yang sedang berada di atas pohon. Akhirnya Farah memberi isyarat “Tunggu sebentar, jangan berisik.”
Gus Syauqi melihat Farah mengambil buku dari tasnya dan mengambil pulpen. Dia menulis beberapa kalimat untuk Gus Syauqi.
“Aku buat sarang burung, supaya burung yang kemaren aku lepas bisa kembali ke sini dan tinggal di pohon. Dia sudah janji tidak akan terbang jauh. Makanya aku buatin sarang. Maafin aku ya gus, aku tahu, kamu kemaren berbohong untuk menutupi kesalahanku. Tapi tenang gus, aku yakin burungnya akan datang ke sarang ini. itu lebih baik dari pada dia harus terkurung di sangkar, sekalipun itu pemberian seorang kiai hehe… Selain itu, Ummi akan tetap bisa mendengarkan suara burung di pagi hari. Andai saja banyak pohon di sekitar pesantren pasti akan banyak burung yang beterbangan di sini. Andai banyak bunga, pasti banyak kupu-kupu yang menghiasinya. Ah sudahlah, semoga kamu segera memberi jawaban yang pernah aku sampaikan. Kenapa ritual agama kita hanya berhubungan dengan ritual langit padahal kita khalifah di bumi ini?”
Farah kemudian menyobek kertas tersebut dan melipat kertas dengan bentuk pesawat. Gus Syauqi masih tidak mengerti apa yang sedang dilakukan Farah, hingga tangan Farah memegang pesawat kertas. Farah terlihat sedang menunggu angin yang berhembus ke arah kamarnya gus Syauqi. Ketika angin datang saat itu juga Farah melempar pesawat kertas dan mendarat tepat di meja yang letaknya berjejer dengan jendela kamar.
Farah tersenyum senang, karena lemparannya tepat sasaran. Farah menyuruh gus Syauqi membuka kertas tersebut. Setelah membacanya gus Syauqi tersenyum dan kembali memandang Farah.
Farah tersenyum manis sambil melambaikan tangannya dan kembali memberi isyarat untuk diam tidak memberi tahu siapapun atas apa yang baru saja dia lakukan. Gus Syauqi tertawa dengan apa yang dilakukan Farah, santri baru yang sudah berani melakukan hal-hal di luar dugaan.
Sebelum Farah turun dari pohon, gus Syauqi menghentikannya.
“Sstt… Farah, aku akan menjawab pertanyaanmu. Jawabannya ada di buku ini,” kata Gus Syauqi sambil menunjukkan buku Fiqh Sosial. Farah mengangkat jempolnya dan menggerakkan bibirnya tanpa mengeluarkan suara, namun Gus Syauqi memahami gerakan bibirnya.
“Oke Gus, kutunggu jawabanmu.” Gus Syauqi kembali tertawa. Dia tidak pernah merasa sebahagia ini. Tingkah Farah yang diluar dugaan membuat gus Syauqi terhibur.
***
Farah segera mengembalikan tangga pada tempat asalnya. Lalu dia berjalan santai menuju kamarnya melanjutkan tugasnya untuk melipat dan menyetrika pakaian keluarga pengasuhnya. Farah tersenyum mengingat Gus Syauqi yang bersedia untuk diam tidak memberi tahu siapapun atas apa yang sudah dia lakukan, juga tersenyum mengingat wajah tampan Gus Syauqi ketika mengatakan sudah menemukan jawaban dari pertanyaannya. Ingin rasanya dia meminjam buku yang tadi di pegang gusnya.
“Hei, kenapa kamu senyum-senyum sendiri,” tanya Icha, teman satu kamarnya.
“Nggak papa..”
“Ehmmm,,, jangan –jangan kamu baru saja lihat gus Syauqi ya? Jangan ikut-ikutan naksir dia,” kata Icha lagi.
“Emang kenapa mba?”
“Dia itu buanyak yang suka, ntar lihat aja, kalau santri santri dah pada balik pondok, pasti pada titip salam buat gus Syauqi. Tuh si Ulun aja naksir banget sama guse, kamu bisa-bisa jadi saingannya Ulun.”
“Hahahahaha….” Farah tertawa.
“Lho koq malah ketawa. Pokoknya dengerin kata-kataku, kamu gak usah ikut-ikutan naksir guse, dia gak bakal membalas perasaanmu. Gimana mau membalas perasaan orang, senyum aja susah, guse juga pendiem, jadi nanti kamu bakal kecewa.”
“Hahahahahaha….” Farah masih tertawa mendengar Icha bicara.
“Sudahlah mba, kalau misal aku naksir guse, aku tak diam diam naksir aja ya, biar gak tengkar sama mba Ulun,” Kata Farah masih sambil menahan tawa, lantaran karakter yang diomongin Icha sama sekali berbeda dengan sosok Gus Syauqi yang dia kenal.
Farah bahkan sudah sering melihat Gus Sayuqi tersenyum. Senyum yang sangat indah, wajah tampan, alis tebal, kulit putih, hidung mancung, rambut yang rapi memang bisa membuat perempuan manapun terpesona dengan ketampanannya. Tapi sampai saat ini, Farah belum terpikir untuk menyukai laki-laki, dia cukup senang ketika gusnya mau menjadi temannya.
Namun, Farah tidak menyadari bahwa tumbuhnya cinta bukan karena direncana. Tumbuhnya cinta lebih pada sebuah peristiwa yang sudah diciptakan oleh Pencipta cinta.
Peristiwa apa itu? entahlah!
(bersambung)
*Muyassarotul H, adalah ibu dari tiga anak. kegiatan sehari-harinya adalah membersamai keluarga di rumah serta anak – anak di TPA dan Madrasah Diniyah Masjid Az Zahrotun Wonocatur Banguntapan Bantul. Bisa dihubungi melalui fb: Muyassaroh Hafidzoh dan Ig: Muyassaroh_h
Aku suka cerita ini