Oleh: Nor Ismah*
Ibu Bidan berambut pirang sebahu itu merenung sejenak, lalu meraih pulpen di dekatnya, menuliskan satu kata dalam bahasa Belanda pada bagian belakang amplop besar berkop Alrijne Ziekenhuis dan menunjukkannya kepadaku. Sore itu, 11 Juli 2016, untuk kesekian kalinya aku memeriksakan kehamilan di rumah sakit LUMC, Leiden University Medical Center.
“Dwarsligging,” ejanya. “Coba sekarang kamu ucapkan,” ia meminta.
Aku menggeleng. “Susah sekali,” kataku sambil tertawa pelan.
“Kalau kamu bilang dwarsligging, suster akan langsung paham.”
“Dwars…ligh…ging. Betul begitu pengucapannya?” Akhirnya berani juga aku melafalkan kata itu.
“Ya ya, kamu bisa. Coba ulangi lagi.”
“Dwars-ligh-ging,” ucapku disusul gelak tawa kami bersama.
Dwarsligging. Satu kata baru menambah perbendaharaan istilah-istilah Belanda yang aku ketahui terkait urusan bayi dan kelahiran atau geboorte. Ternyata selain bayi sungsang dan bayi terlilit tali pusar yang biasanya menjadi sebab dilakukannya tindakan operasi pada ibu, ada juga bayi melintang atau dwarsligging. Posisimelintang ini berbeda dengan sungsang atau posisi kaki bayi berada di bawah. Dwarsligging adalah posisi bayi dengan kepala berada di sisi kanan atau kiri perut ibu.
“Jadi seperti ini,” kata bidan yang lain sambil menunjuk ketika aku melakukan kontrol rutin setiap bulannya di klinik bidan de Kern di Leiden. Ia memegang miniatur rahim perempuan yang berisi janin dan menjelaskan bagaimana jika janin itu dalam posisi melintang. Dari bidan yang masih muda ini aku pertama kali tahu kalau posisi bayiku melintang. Waktu itu usia kehamilanku sudah memasuki delapan bulanan. Aku sempat kaget juga, karena sebelumnya posisi janin sudah bagus, yaitu kepala sudah mapan di bawah, di jalan lahir.
“Kira-kira apa penyebabnya?” aku bertanya.
Ia tertawa kecil. “Maunya bayi memang begitu, dia tidak mau dengar kata-kata mamanya,” jawabnya santai sambil mengulum senyum, mengisyaratkan aku supaya tidak perlu khawatir. Seperti juga yang aku rasakan selama menjalani kehamilan di Belanda, setiap bidan atau dokter yang aku temui, meskipun berganti-ganti, mereka selalu membuat perasaanku tenang dan ayem.
“Tapi tentu ada upaya supaya posisi kepala janin bergeser ke bawah, kan?”
“Ya ada, misalnya dengan melakukan gerakan yoga. Tapi menurutku itu tidak berefek banyak. Cuma ada satu yang mungkin bisa dilakukan, yaitu dengan memutar kepala bayi agar berada di bawah,” kata bidan menjelaskan, “meskipun nantinya kepala janin bisa jadi akan kembali ke posisi semula.”
“Diputar?” Aku melongo. Serius diputar? Aku bertanya dalam hati. Aku baru tahu kalau posisi bayi melintang bisa diputar. Pengalamanku sebelumnya, waktu kepala janin belum mapan, cukup ditunggu sambil diusahakan banyak menungging. Lalu bagaimana bisa kepala bayi yang berada di bagian tepi perut ibu itu diputar. Aku belum tahu pasti bagaimana caranya, tapi aku bisa membayangkan rasa sakit yang mungkin akan aku alami.
****
Usia kehamilanku sudah terhitung tua dengan kondisi janin dwarsligging, karena ituaku pun dirujuk oleh klinik bidan de Kern untuk kontrol ke Alrijne Ziekenhuis atau rumah sakit Alrijne. Keadaan ini juga mengubah rencanaku yang semula ingin melahirkan di rumah, namun akhirnya mau tidak mau harus di rumah sakit demi keselamatan. Seingatku sudah empat kali aku kontrol ke rumah sakit ini, di antaranya ketika aku kekurangan zat besi dan ada potensi gula darah yang tinggi. Aku menjalani pemeriksaan darah beberapa kali dan konsultasi dengan ahli gizi tentang diet gula darah.
Alrijne Ziekenhuis Leiden terletak di Houtlaan 55, hanya beberapa blok dari Boerhaavelaan, kompleks perumahan tempat kebanyakan mahasiswa PhD dari Indonesia tinggal. Sambil menunggu waktu pengambilan darah yang dilakukan sebanyak dua kali dengan jeda waktu beberapa jam, aku biasanya menunggu di rumah Mbak Latifah di Boerhaavelaan, dan berjalan sekitar sepuluh menit untuk kembali ke rumah sakit. Jika aku berangkat dari tempat kosku di Granaatplein, aku naik bis dua kali, bis nomor 1 atau 2, lalu ganti bis nomor 187 atau 186, berhenti di halte depan rumah sakit.
Tidak seperti kebanyakan ibu hamil yang ditemani suami atau keluarganya, sebagaimana kulihat ketika periksa kehamilan, aku selalu mondar-mandir sendirian sejak pertama kali diperiksa dengan ultra sonografi (USG) di Poortgebouw, ke klinik de Kern, ke laboratorium SCAL, lalu ke Alrijne Ziekenhuis. Sendirian menunggu giliran diperiksa di ruang tunggu tempat-tempat itu. Sendirian naik turun lift, berjalan menelusuri koridor Alrijne Ziekenhuis menuju ruang periksa atau berbelok menuju kafetaria. Aku sengaja selalu singgah di kafe ini karena suka dengan sup krim kental panas beserta saladnya. Aku menikmatinya di salah satu sofa empuk kafe sambil menatap lalu lalang penikmat yang lain. Beberapa pasien seperti aku, juga para pegawai rumah sakit yang berseragam. Aku juga sendirian ketika akhirnya benar-benar merasakan bagaimana posisi kepala bayi di rahimku diputar di Alrijne Ziekenhuis.
“Apakah akan terasa sakit?” tanyaku berbisik khawatir pada seorang suster.
“Tidak, tenang saja. Semua akan baik-baik saja,” jawabnya sambil tersenyum.
Aku mencoba menenangkan diri. Meskipun seminggu sebelumnya bidan Alrijne pernah menggeser posisi janinku dan ternyata tidak bisa bertahan lama, kali ini sepertinya lebih serius. Suster itu menjelaskan kalau penggeseran posisi bayi akan dilakukan oleh dokter kandungan. Namun sebelumnya, ia membutuhkan waktu untuk merekam denyut jantung ibu dan janin melalui alat yang dijepitkan pada jari telunjukku dan alat semacam ikat pinggang yang dipasang melingkari perutku. Waktu itu siang hari, tapi dengan terbaring sendirian di ruangan bersalin sambil mendengar suara denyut bayiku, aku merasa seperti tengah berjalan di malam sepi di tempat asing tanpa teman.
Betul saja setelah menunggu beberapa saat, seorang dokter kandungan masuk ruangan bersama suster. Ia mengucapkan selamat atas kehamilanku, memperkenalkan diri, lalu menjelaskan bagaimana ia akan menggeser posisi bayi. Sebelum menggeser, ia memastikan posisi kepala bayi melalui USG. Kemudian seperti juga yang dilakukan bidan Alrijne, dengan kedua tangannya ia menekan bagian tepi perutku lalu mendorongnya perlahan ke bagian bawah. Ia mengulanginya beberapa kali sambil mengatakan, “Ini memang tidak nyaman. I am so sorry.” Aku cuma bisa meringis sambil menarik napas dalam-dalam untuk menahan ngilu di bagian perut. Mungkin mataku berkaca-kaca, tapi sedikit.
“Kamu baik-baik saja?” tanya suster. Aku tersenyum. Ia lalu melanjutkan, “Saya akan pasang alat ini lagi dan nanti kita akan cek apakah posisi kepala bayi tetap di bawah atau ia berubah ke posisi semula.”
Aku tercekat. Aku pikir semua sudah selesai, tapi ternyata masih harus menunggu perkembangan posisinya. Aku terbaring dengan gelisah, mengelus-elus perutku sambil berbisik, tetap-tetap ya Nak, jangan berubah lagi. Ketika dokter dan suster masuk untuk kedua kalinya, aku berharap betul posisi bayiku sudah bagus, jadi aku tidak usah lagi merasakan pijatan ngilu di perut. Bu Dokter kembali memeriksa rahimku dengan USG. Beberapa detik berlalu, ia tampak menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Kenapa, Dok?”
“Dia sepertinya tidak mau mendengarkan kata-kata mamanya,” jawab dokter.
Dan, aku pun kembali meringis dengan mata berkaca-kaca.
****
“Dwars-ligh-ging,” aku mengejanya lagi.
“Bagus. Nah, besok Rabu, kamu telepon ke nomor ini ya. Ini nomor GeboorteHuis LUMC, bilang kalau kamu memesan kamar untuk persalinan dengan keadaan bayi dwarsligging,” kata Ibu Bidan.
Sebelumnya dari Alrijne aku dirujuk ke LUMC dan GeboorteHuis atau poli persalinan untuk persiapan melahirkan. Terhitung sejak tanggal 4 Juli 2016 hingga 11 Juli 2016, aku tiga kali bolak-balik diperiksa di LUMC, rumah sakit yang berlokasi di belakang Leiden Centraal. Posisi bayiku masih tetap melintang meskipun sudah dilakukan turning position sebanyak tiga kali di Alrijne sehingga pilihan yang tersisa adalah melahirkan dengan induksi. Melahirkan dengan cara memberikan rangsangan berupa tablet atau cairan infus kepada ibu hamil sehingga merasakan kontraksi di rahimnya. Aku mendengar bahwa kontraksi induksi itu lebih menyakitkan daripada kontraksi alamiah, dan ini membuatku sedikit khawatir.
Setiap kali kontrol kandungan di LUMC, selalu ada pemeriksaan cervix untuk melihat apakah sudah memungkinkan untuk dilakukan induksi. Aku selalu mengangguk pasrah setiap kali bidan atau dokter meminta izin, “Bisakah saya memeriksa cervix Ibu?” Lalu, dengan telapak tangan yang terbungkus sarung tangan sekali pakai ia memasukkan satu atau dua jarinya menembus jalan lahir dan menusuk agak ke dalam. Rasanya tentu saja tidak nyaman. Tetapi, syukurlah pada hari itu setelah berkonsultasi dengan dokter dan dilakukan pengecekan terakhir, Ibu Bidan memintaku untuk memutuskan hari apa aku akan diinduksi. Aku pun memilih hari Rabu, 13 Juli 2016.
Aku menunggu hari Rabu dengan gelisah, padahal cuma selang sehari, tetapi apa pun bisa saja terjadi. Jika sebelum Rabu aku merasakan kontraksi apalagi ketuban sampai pecah, aku harus segera menelepon GeboorteHuis. Jika sampai ketuban pecah lebih dulu, aku harus berbaring dengan posisi badan sejajar. Tapi, kondisi ini cukup rawan untuk kehamilanku. Sebab, jika aku sampai kehabisan air ketuban maka tidak mungkin untuk menggeser kepala bayi ke bawah, jadi pilihan satu-satunya adalah operasi. Memikirkan berbagai kemungkinan itu sendirian, sementara suami dan anak-anak ternyata belum bisa juga tiba di Leiden disebabkan persoalan visa yang lambat, aku merasa nelangsa.
Di dalam salah satu kamar di GeboorteHuis, mundur sehari dari hari Rabu, setelah tablet kedua dimasukkan ke dalam cervix, tangisku benar-benar pecah. Bersamaan dengan masuknya seorang bidan senior yang bertugas waktu itu. Ia meraih tanganku, menggenggamnya erat-erat.
“Apa yang membuat kamu menangis?” Ia bertanya.
Aku menggeleng sambil sesenggukan, tak henti.
“Karena sakit?”
Aku masih terisak-isak.
Ia menatapku lembut. “Kami di sini akan membantu persalinanmu. Kamu akan aman dan baik-baik saja di sini. Kamu percaya kami, kan?”
Di sela-sela isakanku aku mengangguk pelan. Aku mencoba menenangkan diri. Rasa nelangsa tak bisa menghentikanku dari melewati proses ini. Bidan kembali memasukkan tablet induksi, tak lama berselang ia datang bersama seorang dokter laki-laki untuk memeriksa kandung kemih yang barangkali menghalangi turunnya kepala bayi menuju jalan lahir. Dan mungkin karena itu mereka memutuskan untuk memasang kateter. Aku iyakan saja. Aku sudah tak peduli dengan rasa sakit, baik sakit induksi maupun sakit karena kateter.
Meski lambat, waktu terus saja berjalan. Setelah habis 4 tablet, perlahan-lahan aku merasakan kontraksi. Pertanda baik untuk dokter memulai proses persalinan. Jumat sore, dua orang dokter, seorang dokter intern, dan seorang perawat memasuki ruangan. Aku mendengarkan baik-baik penjelasan salah seorang dokter. Mereka akan memutar bayi dwarsligging bersamaan dengan proses perobekan ketuban secara manual. Aku mengangguk. Aku sudah menarik napas dalam-dalam, seperti yang diajarkan suster ketika memutar posisi janin. Aku pejamkan mata rapat-rapat menahan ngilu jari-jari dokter masuk ke dalam jalan lahir, mendorongnya kuat-kuat seperti hendak menjebol dinding di ujung jalan itu. Ia berkali-kali mengatakan, “Ini menyakitkan, aku minta maaf.”
Aku merasakan air mengalir deras membasahi alas tidur. Bersamaan dengan itu, dokter yang lain menekan bagian samping perutku, mendorongnya pelan namun kuat ke arah bawah dan ia melakukannya seperti bidan dan dokter di Alrijne. Aku terus saja memejamkan mata dan menahan napas dalam-dalam, sambil berharap proses ini segera selesai. Beberapa kali aku masih merasakan dokter cantik berambut hitam sebahu itu menekan dan mendorong kepala janin hingga betul-betul turun ke bawah ke rongga panggul menuju jalan lahir. Mentok. Sampai ia kemudian bersorak senang, “Yeay, malam ini bayinya akan lahir.”
Aku ikut bersorak dalam senyuman. Meskipun aku masih harus menunggu beberapa jam lagi, masih harus menahan rasa perih dan gempuran nyeri luar biasa pada rahim, pinggang, dan jalan lahir, masih harus merintih dengan bibir gemetar ketika kontraksi datang. Tapi, aku sudah hampir sampai di pengujung gerbang untuk mengantarkan dan menyambut kelahiran bayiku, bayi dwarsligging, di muka bumi.
*Lulusan S2 Asian Studies dari University of Hawaii at Manoa USA ini mendapatkan surprise kehamilan empat bulan sebelum keberangkatannya ke Belanda untuk program PhD, di Leiden University Institute for Area Studies (LIAS), dengan support beasiswa dari LPDP.