Perjuangan Nyai Dafiniyatul Ulum “Ngrumat Santri Meneruskan Tradisi”

Perjuangan Nyai Dafiniyatul Ulum Ngrumat Santri Meneruskan Tradisi

Perjuangan Nyai Dafiniyatul Ulum “Ngrumat Santri Meneruskan Tradisi”

Oleh: Nadina Nayla Azra Mahira

“Yang penting di rumah manfaat, diniati ibadah, nguri-uri peninggalan orang tua,” demikian dawuh Bu Nyai Dafin. Sebagai istri dari K.H Chasan Abdullah yang sudah aktif di organisasi PWNU selama empat periode, Bu Nyai Dafin menghindari ikut organisasi semacam Muslimat, Fatayat, dll. Bu Nyai Dafin hanya fokus ngerumat santri. Karena fokus, alhamdulillah santrinya juga kopen.

“Di pondok saja ngerumat santri, nanti kalo keluar semua ndak bubar. Semua dikerjakan di rumah, berkah. Yang dibutuhkan santri ada di sini. Ngaji itu menemukan kepuasan, kenyamanan. Mencari ridha Allah,” tutur beliau.

Ngerumat santri adalah salah satu cara Bu Nyai Dafin untuk meneruskan tradisi turun-temurun dari orang tuanya. Bu Dafin adalah anak pertama dari empat bersaudara. Sewaktu kecil, bu Dafin ngaji dasar-dasar agama dan membaca Al-Qur’an dengan orang tuanya sendiri. Bu Dafin kemudian menempuh pendidikan formal di Pesantren Tambak Beras, di Tambak Rejo, Kec. Jombang, Kabupaten Jombang, Jawa Timur hingga tiga tahun.

Pendidikan formal Bu Nyai Dafin tidak diteruskan ke jenjang Mualimat (SMA, kuliah), hanya sampai kelas empat Mualimat. Setelah mendapatkan ijazah Madrasah Tsanawiyah Bu Nyai Dafin langsung melanjutkan ke tahfidzul qur’an di Pondok Pesantren Sunan Pandanaran.

Selama menjadi santri, Bu Nyai Dafin memiliki minat menghafal al-Qur’an yang tinggi. Sejak duduk di bangku Sekolah Dasar, Bu Nyai Dafin sudah mulai menghafal Juz ‘Amma. Di jenjang MTs, Sebelum menghafalkan quran, Bu Nyai Dafin terlebih dahulu mempelajari kitab-kitab. Misalnya tauhid, fiqh (thoharoh), dan lain-lain. Tujuannya supaya nanti sudah punya bekal dasar untuk membentengi diri. Setelah itu beliau mulai menghafal al-

Qur’an dan menyelesaikan hafalannya sekitar 3,5 tahun, yang menjadi standar bagi para santri saat itu untuk menjadi hafidz/hafidzah.

Setelah lulus dari tahfidzul Qur’an, Bu Nyai Dafin langsung dipersunting oleh K.H. Chasan Abdullah. Bersama suaminya, Bu Nyai Dafin dipercaya untuk mengasuh pondok as-Salafiyah yang sudah dirintis oleh kakek beliau sejak tahun 1930-an.

Seiring dengan pesatnya perkembangan pesantren as-Salafiyah, pada tahun 2016 didirikan sekolah formal Madrasah Tsanawiyah as-Salafiyah. “Dulu membangun as-Salafiyah itu perjuangan sekali,” kenang beliau. “Santrinya ada, tapi tempat atau bangunannya belum ada. Jadi kita cari tanah ke sana-ke sini. Awal waktu itu ada lahan seluas 1500 m2, harga per- meternya Rp 600.000,00. Jadi total kita butuh uang sekitar Rp 900.000.000,00.”

Selain kesulitan mencari lahan, beberapa kesulitan lain yang dihadapi Bu Nyai Dafin dalam mengembangkan pondok pesantren as-Salafiyah adalah ijin mendirikan madrasah, pendanaan, dan juga penerimaan dari masyarakat. “Tidak semua masyarakat cocok dengan apa yang kami lakukan.”

Saat ini pondok pesantren as-Salafiyah sudah menjadi salah satu pondok pesantren besar di kota Yogyakarta. Perkembangan lahan yang dimiliki sudah sekitar dua hektar. “Bahkan sekarang dengan perkembangan pondok pesantren as-Salafiyah, beberapa bank menawarkan kemudahan dalam pinjam-meminjam dana.”

Meskipun demikian, Bu Nyai Dafin tidak mau berpangku tangan terus- menerus mengandalkan pinjaman bank. Sebagai seorang pengasuh pondok pesantren, beliau memiliki usaha sendiri. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, beliau memiliki bisnis konveksi di rumah. Yang dijual diantaranya sarung, mukena, daster, dan lain-lain.

“Awalnya cuma menjajakan kerudung sepuluh potong, laku lima potong, beli sepuluh potong lagi untuk stok. Yang tidak laku hari itu ditumpuk,” tutur Bu Nyai Dafin. Bisnis Bu Nyai Dafin terus berjalan dan semakin berkembang. Setiap ada modal langsung membeli stok baru sampai akhirnya mampu menyimpulkan yang paling laku jenis apa. Bisnis rumahan Bu Nyai Dafin lama-kelamaan berkembang hingga mendapatkan pesanan dari luar kota.

Perkembangan bisnis ini sangat membantu dan memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarga Bu Nyai Dafin. “Karena pengajar di pondok tidak dibayar, uang pondok hanya untuk kepentingan operasional. Alhamdulillah bisnis ini bisa menyangga kebutuhan pribadi.”

Di samping memiliki jiwa entrepreneur yang tinggi, Bu Nyai Dafin tetap menjaga tradisi sebagai orang pesantren, yaitu mengajar. Bu Nyai Dafin mengampu santri tahasus tahfidzul Qur’an. Setiap harinya ada 70 santri perempuan yang mengaji tiap hari pukul 10.00 WIB dan sembilan santri laki-laki yang mengaji ba’da ashar.sedangkan malamnya setiap ba’da isya’, santri darasan minimal lima kaca. “Biasanya kalau rajin tiga tahun sudah selesai. Kalau sekolah mempeng, ngaji juga mempeng. Karena punya tanggung jawab,” dawuh Bu Nyai Dafin.

Selain mengajar para santri, di kediamannya, Bu Nyai Dafin juga menggelar beberapa pengajian. Seperti pengajian mingguan tiap Jum’at pagi ba’da subuh, pengajian selapanan tiap malam Selasa Legi, pengajian tahunan tiap ba’da mulud, dan pengajian hafidzah tiap minggu siang pukul 14.00 WIB.

Demikianlah biografi singkat Bu Nyai Dafin yang memiliki prinsip bahwa ngerumat santri itu adalah bagian dari melestarikan tradisi. Dan memiliki prinsip bahwa orang pondok itu harus berdikari, berdiri di atas kaki sendiri. Tidak bisa hanya mengandalkan bayaran dari pondok saja.

Demikian Perjuangan Nyai Dafiniyatul Ulum “Ngrumat Santri Meneruskan Tradisi”. Semoga bermanfaat

Penulis: Nadina Nayla Azra Mahira, lahir di Lamongan, Jawa Timur. Beralamat di Banguntapan, Bantul, Yogyakarta. Sukses menempuh pendidikan TK hingga SD di Yogyakarta dan kini tengah duduk di bangku SMP kelas VIII di SMP dan Pesantren Bumi Cendekia, Sleman, Yogyakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *