Kedamaian dan kebahagiaan adalah cahaya. Itulah yang diresapi Kartini ketika belajar Islam kepada KH Sholeh Darat Semarang. Pertama kali bertemu Kiai Sholeh Darat ketika Kartini datang dalam pengajian di rumah Bupati Demak, Pangeran Ario Hadiningrat, yang juga paman Kartini. Kiai Sholeh menjelaskan tafsir surat al-Fatihah. Setelah pengajian, Kartini mengajak pamannya untuk bertemu dan sekaligus belajar kepada Kiai Sholeh Darat.

Terjadilah kemudian dialog antara Kartini dan Kiai Sholeh Darat.

“Kiai, perkenankanlah saya menanyakan, bagaimana hukumnya apabila seorang yang berilmu, namun menyembunyikan ilmunya?”

Tertegun Kiai Sholeh Darat mendengar pertanyaan Kartini yang diajukan secara diplomatis itu. Kiai Sholeh mencermati betul pertanyaan itu, jangan sampai jawabannya justru mengecewakan.

“Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?” Kiai Sholeh Darat balik bertanya, sambil berpikir agar jawabannya fokus sesuai yang diharapkan.

“Kiai, selama hidupku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama, dan induk Al-Quran yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan buatan rasa syukur hati aku kepada Allah, namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa selama ini para ulama kita melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Quran dalam bahasa Jawa. Bukankah Al-Quran itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”

Setelah pertemuan itu, Kiai Sholeh Darat akhirnya menulis terjemah al-Quran berbahasa Jawa. Terjemahan itu mulai surat al-Fatihah sampai surat Ibrahim, atau 13 juz. Sampai di situ, Kiai Sholeh wafat. Terjemahan itu kemudian dihadiahkan kepada Kartini di hari pernikahannya. Dari terjemahan itulah, Kartini semakin teguh dalam belajar Islam.

Salah satu ayat yang membuat Kartini terpesona adalah surat Al-Baqoroh ayat 257. Di sana tertera kalimat “min al-dzulumat ila al-nur”, dari kegelapan menuju cahaya. Kartini merasakan sendiri perubahan dirinya, dari kegelisahan dan pemikiran tak-berketentuan menuju pemikiran yang penuh cahaya, mencerahkan dan memberdayakan. Dari sini juga, Kartini menegaskan bahwa manusia harus mencapai puncak cahaya, sehingga lahirnya kebahagiaan dan kedamaian.

Surat-surat Kartini juga menegaskan “dari gelap menuju cahaya” ini. Sayang, istilah ini diterjemahkan dalam bahasa Belanda menjadi “Door Duisternis Tot Licht”, yang diterjemahkan Armijn Pane menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Walaupun demikian, “etos bercahaya” untuk selalu damai dan bahagia menjadi akar utama jalan pemikiran dan gerakan Kartini.

Dari surat ini inilah akhirnya menjelma cahaya yang menembus hati para siswa menjadi orang yang cerdas dan berguna bagi semua. (my)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here