Seri I Kajian Tentang Mengenal Para Perempuan Periwayat Hadis

Oleh: Dr. Zunly Nadia*

Belum lama ini, lagu tentang Aisyah istri Rasulullah menjadi trending di youtube. Bahkan lirik lagu tersebut menjadi perdebatan, sehingga memunculkan lirik dengan beragam versi. Sosok Aisyah memang cukup sensasional di dalam sejarah, terutama sejak beliau menjadi istri Rasulullah Saw. Mulai dari peristiwa fitnah yang pernah melanda Aisyah sehingga Nabi Saw sempat mendiamkan dan bahkan hampir menceraikannya, hubungan Aisyah dengan istri-istri Nabi Saw yang lain, ketegangan Aisyah dengan Ali dan istrinya Fatimah, hingga peristiwa perang jamal yang melibatkan Aisyah sebagai salah satu pimpinannya.

Tulisan ini tidak akan membahas tentang kisah-kisah tersebut di atas, tetapi akan membahas sekilas tentang sosok Aisyah sebagai periwayat perempuan yang paling banyak meriwayatkan hadis dan hadis-hadis yang diriwayatkannya. Penulisan ini penting karena selama ini umat Islam kebanyakan hanya mengenal periwayat hadis itu laki-laki. Padahal, tidak sedikit juga periwayat hadis dari kelompok perempuan. Salah satu tokoh utama dan paling banyak meriwayatkan hadis dari kalangan perempuan tersebut adalah Aisyah.

Banyaknya hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah ini tentu saja wajar karena dia adalah istri Nabi Saw yang hari-harinya hidup dan banyak berinteraksi dengan Nabi Saw, termasuk dalam masalah yang paling rahasia sekalipun, seperti perihal kehidupan seksual, misalkan. Karena itu, jumlah hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah ini cukup banyak melebihi sahabat-sahabat Nabi Saw yang lain, termasuk sahabat laki-laki. Hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah sebanyak 1.999 hadis dan disebutkan sebanyak 5.811 hadis dari 72.469 hadis yang tercatat dalam kutub al-tis’ah, jumlah yang banyak setelah periwayat Abu Hurairah, Abdullah bin Umar ibn al-Khattab dan Anas bin Malik.  5.811 hadis dalam kutub al-tis’ah tersebut dengan perincian sebagai berikut: 846 hadis dalam kitab Sahih Bukhari, 629 hadis dalam Sahih Muslim, 648 hadis dalam Sunan al-Nasa’i, 272 hadis dalam Sunan al-Turmuz|i, 376 hadis dalam Sunan Ibn Majah, 409 hadis dalam SunanAbu Dawud, 2327 hadis dalam Musnad Ahmad, 188 hadis dalam Sunan al-Darimi, dan116 hadis dalam Al-Muwatha’.

Dilahirkan pada empat tahun setelah kenabian, Aisyah dinikahi oleh Rasulullah dua tahun sebelum hijrah ke Madinah, di mana dia tinggal bersama dengan Nabi Saw setelah Nabi Saw pulang dari perang Badar kedua di usianya kurang lebih sembilan tahun. Aisyah menemani kehidupan Nabi Saw selama delapan tahun lima bulan dan meninggal pada tanggal 17 Ramadhan 58 H di usianya yang ke enam puluh lima tahun.

Aisyah Dikenal Sebagai Perempuan Cerdas

Dalam kitab-kitab sejarah diceritakan jika Aisyah dikenal sebagai seorang perempuan yang cerdas, pemberani dan mempunyai daya hafal yang kuat. Aisyah tidak hanya dikenal sebagai seorang istri Nabi Saw (ummul mukminin) tetapi juga dikenal sebagai seorang yang faakih. Hal ini yang menjadikan Aisyah menjadi rujukan bagi para sahabat baik itu sahabat perempuan maupun sahabat laki-laki yang ingin bertanya tentang berbagai persoalan, baik terkait dengan al-Qur’an, hadis, fikih, maupun persoalan politik. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Abu Musa al-Asy’ari  bahwa “semua hadis yang kami anggap sulit, pasti akan kami temukan jawabannya bila kami tanyakan kepada Aisyah.”

Selain itu, sebagai seorang periwayat hadis, Aisyah tidak hanya aktif dalam meriwayatkan hadis tetapi juga berani melakukan kritik terhadap periwayatan para sahabat yang lain, seperti kritik yang dilakukannya terhadap beberapa riwayat Abu Hurairah, riwayat Umar, kritik terhadap riwayat Ibn Umar, riwayat Jabir, dan juga terhadap penafsiran Ka’ab, dan masih banyak lagi yang tidak luput dari kritiknya.

Sebagai contoh adalah riwayat Aisyah yang tegas memberikan kritik terhadap hadis misoginis yang merendahkan perempuan karena disamakan dengan keledai:

و حَدَّثَنِي عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ حَفْصٍ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ قَالَ قَالَتْ عَائِشَةُ مَا يَقْطَعُ الصَّلَاةَ قَالَ فَقُلْنَا الْمَرْأَةُ وَالْحِمَارُ فَقَالَتْ إِنَّ الْمَرْأَةَ لَدَابَّةُ سَوْءٍ لَقَدْ رَأَيْتُنِي بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُعْتَرِضَةً كَاعْتِرَاضِ الْجَنَازَةِ وَهُوَ يُصَلِّي[1]

Artinya: “Dan telah menceritakan kepadaku Amru bin Ali telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Abu Bakar bin Hafsh dari Urwah bin az-Zubair dia berkata, Aisyah radhiyallahu’anhu berkata, “Apa yang memutuskan shalat?” Perawi berkata, “Kami menjawab, wanita dan keledai!” lau Aisyah berkata, “Apa wanita itu adalah hewan melata yang jelek?. Sungguh aku melihat diriku sendiri (sering) tidur melintang seperti jenazah di hadapan Rasulluah Shallallahu’alaihiwasallam, padahal beliau sedang shalat.”

Hadis ini merupakan upaya Aisyah untuk menyanggah riwayat Abu Hurairah saat itu yang menyamakan perempuan dengan keledai sehingga shalat seseorang bisa batal karena perempuan. Padahal Nabi Saw sendiri pernah shalat sementara Aisyah tidur di hadapannya, dan itu tidak masalah. Dalam konteks ini, kritik Aisyah bisa dikatakan sebagai salah satu bentuk independensi dan kecerdasaan perempuan yang mencoba untuk melawan “budaya” Arab saat itu yang memposisikan perempuan sebagai makhluk kelas dua.

Kritik lain yang dilakukan Aisyah adalah kirik terhadap riwayat hadis dari ‘Urwah bin Zubair yang menyatakan bahwa Abu Hurairah pernah berkata, sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda: “Sungguh dicambuk demi menegakkan agama Allah lebih aku sukai daripada memerintahkan zina lalu memerdekakan anaknya”. Beliau juga bersabda: anak zina merupakan yang terkeji di antara tiga person”. Sabdanya lagi: seorang mayat akan disiksa karena tangisan keluarganya yang masih hidup”.

Menurut Aisyah, Abu Hurairah dinilai kurang konprehenshif dalam meriwayatkan hadis-hadis tersebut, sehingga kerap memunculkan salah faham. Mengenai sabda Nabi Saw, “sungguh dicambuk demi menegakkan agama Allah lebih aku sukai daripada memerdekakan anak zina” sebenarnya terkait erat dengan turunnya Al-Qur’an surat al-Balad ayat 11-13 yang berbunyi: “maka tidakkah sebaiknya (dengan harta itu) ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan”. Dengan turunnya ayat tersebut, para sahabat bertanya kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah,  kami tidak memiliki (budak-budak) yang akan kami merdekakan. Namun ada di antara kami memiliki budak wanita. Bagaimana kalau kami memerintahkannya untuk berzina, dan setelah melahirkan anak-anaknya kami memerdekakan?”. Mendengar pertanyaan seperti itu, Nabi Saw pun menjawab: “Sungguh, dicambuk demi menegakkan agama Allah lebih aku sukai daripada memerintahkan (seorang sahaya) untuk berzina, lalu memerdekakan anak (nya).”

Sedangkan mengenai sabda Nabi Saw tentang “anak zina merupakan yang terkeji di antara tiga person”, menurut Aisyah tidak boleh diputus dari sabda Nabi sebelumnya. Karena pada awalnya hadis tersebut dilatar belakangi oleh perilaku seorang munafik yang menyakiti hati Nabi Saw. Lalu beiau bersabda: “siapa yang bisa mengemukakan alasan kepadaku mengenai orang itu?” Lalu dikatakan kepada beliau: “orang itu bersama anak zina”, kemudian beliau bersabda: “Dia adalah yang terkeji di antara tiga orang itu”. Karena Allah Swt sendiri telah berfirman: “Dan seorang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” (Q.S al-An’am: 164). Sehingga tidak dikenal yang namanya dosa kolektif tersebut.

Dari sini bisa terlihat bahwa Aisyah menolak riwayat Abu Hurairah karena menurut penilaiannya Abu Hurairah telah lupa terhadap sebab turun hadis itu, sehingga meriwayatkannya dengan redaksi yang tidak semestinya. Dan untuk menguatkan kritiknya tersebut, Aisyah juga merujuk kepada Al-Qur’an karena baginya tidak mungkin hadis Rasulullah itu bertentangan dengan firman Allah.

Apa yang dilakukan oleh Aisyah tersebut menunjukkan bagaimana kecerdasan dan daya hafal beliau yang sangat kuat. Bahkan Aisyah juga tidak segan-segan bertanya kepada Nabi Saw  sendiri tentang suatu riwayat dengan membandingkannya pada Al-Quran.Tidak mengherankan jika kemudian Aisyah mempunyai banyak sekali murid yang meriwayatkan hadis darinya, tidak hanya dari kalangan sahabat, tetapi juga dari kalangan tabi’in. Tidak hanya yang berasal dari keluarga Nabi, tetapi juga dari kalangan orang luar, termasuk dari hamba sahaya.

Tercatat 299 orang murid Aisyah yang meriwayatkan hadis darinya. Di antara murid-murid yang meriwayatkan hadis dari Aisyah adalah: Ibrahim bin Abdurrahman bin Abdullah bin Abi Rabiah ( Abu Muhammad), Ibrahim bin ‘Abid bin Rifa’ah bin Rafi’, Ibrahim bin Yazid bin Syariik (Abu Asma’), Ibrahim bin Yazid bin Qais (Abu Imran), Abu bakar bin Abdurrahman bin Harits bin Hisyam bin Mughairah (Abu Bakar), Abu Hafsah Maula ‘Aisyah (Abu Hafsah), Abu Sahlah Maula Utsman (Abu Sahlah), Abu Abdullah (Abu Abdullah), Abu ‘Adzrah ‘an Aisyah (Abu ‘Adzrah), Abu ‘Iyadh (Abu ‘Iyadh), Abu Yunus Maula Aisyah (Abu Yunus), Ishaq bin Thalhah bin Ubaidillah, Ishaq bin Umar, As’ad bin Sahal bin ‘Anif (Abu Amamah), Asma’ binti Abu Bakar (Ummu Abdullah) dan lain sebagainya.

Aisyah juga tidak hanya meriwayatkan hadis langsung dari Nabi Saw, tetapi juga meriwayatkan hadis dari para sahabat yang lain, diantaranya adalah Usaid bin Hudhair bin Samak bin ‘Atik (Ummu Yahya), Judamah binti Wahab, Haris bin Hisyam bin Mughirah (Abu Abdurrahman), Hamzah bin Umar bin ‘Uwaimir (Abu Shalih), Hamnah binti Jahsy, Ramlah binti Abi Sufyan (Ummu Habibah), Shakhr bin Harb bin Umayyah, ‘Abid (Abu Sa’id), Abdullah bin Usman bin ‘Amir bin ‘Amru (Abu Bakar), Nufail (Abu Hafs), dan Fatimah binti Rasulullah (Ummu Hasan).

Hadis Aisyah Mencakup Berbagai Persoalan

Hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah juga mencakup berbagai persoalan, mulai dari persoalan ibadah, sosial kemasyarakatan, politik, isu-isu perempuan hingga persoalan pribadi Aisyah dengan Nabi Saw dan juga persoalan pribadinya dengan anak menantu Nabi Saw dan juga dengan para madunya. Hal ini menunjukkan peran Aisyah yang tidak hanya bergelut dengan persoalan domestik rumah tangga, tetapi juga menunjukkan peran Aisyah dalam ruang publik, seperti keikutsertaannya dalam peperangan, perayaan keagamaan, shalat berjamaah, haji dan lain sebagainya.

Dalam kitab Sahih Bukhari misalnya, hadis-hadis yang diriwayatkan Aisyah yang terkait dengan persoalan perempuan sebayak 49 hadis, terkait dengan persoalan pribadi 60 hadis, termasuk di dalamnya persoalan pribadi Aisyah dengan Nabi, kasus fitnah yang menimpanya serta persoalan pribadi lainnya. Sedangkan hadis yang terkait dengan pribadi Nabi Saw sebanyak 48 hadis termasuk di dalamnya tentang kisah Nabi Saw menerima wahyu, kisah sakit dan wafatnya Nabi Saw dan lain sebagainya. Hadis tentang ibadah, seperti shalat, wudhu, puasa sebanyak 123 hadis, hadis tentang tafsir Al-Quran sebanyak 72 hadis, hadis tentang muamalah sebanyak 180 hadis, hadis tentang adab 34 hadis, hadis tentang haji 44 hadis, hadis tentang jenazah 13 hadis, hadis tentang jihad dan perang 30 hadis, hadis tentang Qurban dan sembelihan 18 hadis, hadis tentang menegakkan hukum 23 hadis, tentang penyakit 27 hadis, tentang kisah Nabi, sahabat, kisah bani Israil , bani Nadzir 41 hadis, kematian, hari akhir, malaikat, sifat neraka 22  hadis.

Melihat dari keragaman isu dan tema hadis-hadis yang diriwayatkannya, sampai di sini kita bisa memahami bahwa Aisyah bukanlah tupe perempuan rumahan yang hanya bertugas mengurusi dapur, sumur dan kasur. Melainkan justru tampil sebagai perempuan multitalenta yang cukup aktif berperan di banyak sektor kehidupan baik di ranah domistik maupun ranah publik.

Sebagai istri seorang Nabi Saw, semua aktifitas Aisyah tersebut tentu mendapat affirmasi dan bahkan muncul atas semangat dan dorongan dari sang suami. Tidak mungkin aktifitas Aisyah yang seabrek itu tanpa pengetahuan atau dorongan seorang suami yang sangat mendukung peran aktif perempaun di dalam sektor publik. Karena itu, prototype rumah tangga Nabi Saw dan Aisyah ini harusnya menjadi contoh dan inspirasi bagi keluarga muslim dalam mengelola relasi suami dan istri yang setara dan tidak membatasi peran perempuan semata-mata hanya ke ranah domestik.

Begitu pula bagi perempuan muslim, harusnya sosok Aisyah ini bisa menjadi inspirasi bagi perempuan untuk tidak semata-mata puas dengan peran-peran domistik, melainkan  tampil lebih aktif dalam banyak urusan publikew yang membawa kemaslahatan bagi banyak orang.


*Pengurus PW Fatayat NU DIY dan Dosen STAISPA Yogyakarta

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here