(Anak bisa “bernasab” pada Ibu)

Oleh: KH. Imam Nakha’i

Sebagian Ulama menyatakan bahwa sejarah pernah melahirkan empat Nabi perempuan, yang salah satu nya adalah Maryam, Ibunda Isa Alaihis Salam. Allah swt secara terang benderang menyebut Isa alaihis salam sebagai “ibnu Maryan”, sebanyak 7 kali di dalam al Qur’an.

Ada beberapa pelajaran menarik, mengapa Allah menyebut “Isa Ibnu Maryam”:

Pertama, Allah ingin menggambarkan fakta bahwa ada perempuan yang menjadi “kepala keluarga”, orang tua tunggal dan berhasil mendidik putranya sampai pada pencapaian tertinggi, yaitu sebagai Nabi. Ayat ini seakan ingin menolak anggapan bahwa perempuan tidak mampu menjadi kepala keluarga. Maryam alaihas salam ternyata mampu. Tenyata, saat ini fakta itu tidak bisa dibantah. Berdasar beberapa survei, ternyata hampir 30 persen perempuan indonesia menjadi kepala keluarga.

Kedua -dan ini menurut saya sangat penting- bahwa anak bisa bernasab atau dinasabkan pada “ibunya”. Bahkan menurut saya hukum ini lebih qhat’iy ad dalalah (lebih terang benderang) dari pada ayat ” wa ala al mauludi lahu” yang dijadikan dalil oleh para ulama bahwa anak bernasab pada ayahnya. Keterang benderangan itu ditunjukkan oleh kwantitas peyebutan “isa ibnu maryam” yg mencapai 7 kali, disamping idhafah yang sangat jelas ” Isa putra Maryam”. Dengan demikian saya lebih yakin pada pandangan bahwa “anak bisa dinasabkan pada ibu nya”, inilah pendapat yang lebih mendekati kebenaran. Dalam ushul Fiqih, hukum ini (anak benasab pada ibu) dipahami melalui “ibaratu an nash” atau tekstualias teks, sedangkan hukum anak bernasab pada ayah diperoleh melalui “isyaratu an nash” atau isyarah teks. Dan menurut teori usul fiqih, hukum yang dipahami dari ibaratun an nash harus dikedepankan dari pada yg digali dari isyaratu an nash.
Pandangan ini sekaligus menjadi ruang bagi perempuan untuk menjadi wali nikah bagi anak anaknya, sebagaimana pandangan al imam Abu Hanifah. Kementrian agama perlu mendengar pandangan ini. Sebab banyak perempuan yang karena sebab tertentu tidak rela jika ayahnya yg menikahkan anaknya.

Tapi mengapa yg lebih populer kok pandangan yang menyatakah bahwa anak bernasab pada ayah? Ya karena ditafsirkan oleh laki laki dalam budaya patriarkhi. Oleh nya penting menafsir ulang dengan kejernihan dan kejujuran sambil merendahkan diri dihadapan firman Allah swt.

Wallahu a’lam

Jkt 021119

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here