Nyai Siti Zur’ah Sang Penjaga Al Qur’an dari Kulon Progo

Oleh: Febiola Cindi Fatika Dita

Fatayatdiy.com – Ibu Nyai Siti Zur’ah, ketua JMQH (Jam’iyyah Mudarasatil Qur’an Lil Hafizhat) Kulon Progo adalah seorang penghafal Al-Qur’an yang berasal dari Wonokromo, Pleret, Bantul. Ibu Zur’ah saat ini mengasuh Pondok Pesantren An-Nadwah, Bendungan Kulon Progo. Wanita kelahiran 8 September 1956 tersebut lahir dari pasangan Bapak H. Abdul Mukti dan Ibu Durriyyah. Ibu Zur’ah pada masa kecil adalah santri pertama Ibu Nyai Istijabah, Pondok Pesantren Al-Imam Wonokromo. Setelah menyelesaikan hafalan Al-Qur’annya, beliau melanjutkan mengajinya di Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta, dan menyetorkan hafalan kepada KH. Ahmad Munawwir untuk memperlancar hafalan Al-Qur’annya.

Ibu Zur’ah memulai menghafal Al-Qur’an pada tahun 1968 kelas 1 PGA di Pondok Pesantren Al Imam Wonokromo sebagai santri kalong. Rumah Ibu Zur’ah berdekatan dengan Pondok Pesantren Al Imam Wonokromo dan sudah mengaji di sana dari kecil. Ketika memulai menghafal Al-Qur’an, belum ada teman yang sebaya, bahkan kala itu karena masih kecil, Ibu Zur’ah tidak tahu jika ada orang yang menghafalkan Al-Qur’an. Beliau hanya nderek dawuh1 guru. Ibu Nyai Istijabah menilai Ibu Zur’ah kecil lebih lancar dalam menghafalkan Juz Amma dibandingkan teman sebayanya yang lain. Namun orang tuanya justru ragu, apakah anaknya kuat mengemban amanah Al-Qur’an? Kemudian dengan keyakinan Ibu Nyai Istijabah, beliau akhirnya diizinkan oleh orang tuanya untuk menghafal.

Di balik kesuksesan Ibu Nyai Zur’ah dalam menghafalkan Al-Qur’an, hal ini tidak lepas dari dukungan kedua orang tuanya. Selama proses menghafal Al-Qur’an, Ibu Zur’ah dibebaskan dari pekerjaan rumah, termasuk mencuci baju, agar Ibu Zur’ah bisa fokus menghafal Al-Qur’an dan menghabiskan waktu di pondok pesantren untuk mengaji. Ibu Zur’ah berhasil mengkhatamkan Al-Qur’an pada tahun 1973, tepatnya kelas 5 PGA, sebagai santri pertama yang berhasil mengkhatamkan hafalan Al- Qur’an. Ia juga sering dikirimkan untuk menggantikan Ibu Nyai Istijabah ketika berhalangan menghadiri simakan2, padahal saat itu, usianya masih kecil. Namun menurut Ibu Nyai Istijabah, Zur’ah sudah mumpuni untuk menggantikannya. Setelah khatam, Ibu Zur’ah melanjutkan setoran hafalan kepada KH. Ahmad Munawwir di Pondok Pesantren Al-Munawwir, Krapyak.

Proses menghafal Al-Qur’an yang dilakukan Ibu Zur’ah adalah bakda subuh berangkat ke Krapyak menggunakan sepeda, maju untuk menyetorkan hafalan jam 7. Bakda mengaji, pagi sampai zuhur membuat hafalan baru untuk maju magrib. Zuhur hingga maghrib Ibu Zur’ah menghabiskan waktunya di sekolah. Setelah mengaji magrib, Ibu Zur’ah tidak akan tidur jika belum membuat hafalan untuk subuh. Kemudian jam 3 pagi sudah harus bangun untuk membuat deresan pagi, begitu setiap harinya. Istikamah dilakukan hingga menikah.

Ibu Zur’ah menikah pada tahun 1974 dengan Bapak Saifuddin yang berasal dari Kulon Progo, Yogyakarta. Hal tersebut mengharuskan Ibu Zur’ah untuk ikut hijrah dari Bantul ke Kulon Progo. Di masa awal pernikahan, bukan hal yang mudah untuk Ibu Zur’ah karena di sekitar tempat tinggal suaminya, banyak warga yang memelihara babi. Ibu Zur’ah yang tidak terbiasa dengan lingkungan seperti itu merasa tidak betah tinggal di tempat barunya.

Setiap harinya ketika musim penghujan, Ibu Zur’ah harus melewati babi yang berendam di kubangan air hujan untuk pergi ke pasar. Ibu Zur’ah kesulitan dalam hal kesucian bahkan dalam hal sosial masyarakat. Dengan keadaan di daerah barunya, Ibu Zur’ah merasa tidak nyaman, bahkan ingin bertransmrigrasi. Karena tidak betah, sebulan sekali Ibu Zur pulang ke Wonokromo, Bantul, tempat tinggal orang tuanya. Di Wonokromo, Ibu Zur banyak diberi nasihat oleh bapaknya untuk wajib berjuang dakwah di daerah suaminya, agar masyarakat lebih paham agama secara kaffah. Setelah dinasihati oleh bapaknya, Ibu Zur’ah lebih tenang dan mencoba untuk lebih bersabar.

Tempat tinggal Bapak Saifudidn memang dari dulu adalah tempat untuk mengaji, maka Ibu Zur melanjutkan dengan tetap istikamah mengajar ngaji, meski hanya sedikit murid dan tetangga dekat saja. 2 tahun kemudian Ibu Zur’ah mengadakan khataman. 7 anak khatam juz-amma dan 3 orang khatam Al-Qur’an bin-nadri. Pada saat proses mengadakan khataman, masyarakat sekitar bersedia ikut andil dalam khataman, seperti rewang dan menyumbangkan hartanya. Di saat itu, sangat jarang diadakan acara khataman, banyak cobaan tidak menyurutkan tekat Bu Zur dan suami untuk berdakwah lewat acara khataman ini.

Nyai Siti Zur’ah Sang Penjaga Al Qur’an dari Kulon Progo

Selepas khataman, berbarengan dengan bangkrutnya usaha babi milik masyarakat, banyak masyarakat yang sadar dan lebih bergairah untuk menuntut agama islam. Diantaranya, mereka mulai memesan mukena dan belajar agama islam kepada Ibu Zur’ah. Seiring berjalannnya waktu, jamaaah semakin banyak. Ibu Zur’ah berinisiatif untuk mengadakan simakan, jemaah hanya mendengarkan Ibu Zur’ah melafalkan hafalan Al- Qur’annya karena belum bisa membaca Al-Qur’an. Hal tersebut dilakukan Ibu Zur’ah untuk berdakwah sekaligus menjaga hafalan Al-Qur’annya. Selain itu, untuk menjaga hafalan Al-Qur’annya, Ibu Zur’ah meminta anak- anak TPA yang sudah mengaji Al-Qur’an untuk menyimak terlebih dahulu hafalannya, setelah itu baru di mulai mengaji.

Di Kulon Progo dari tahun 1974 sampai 1977 Ibu Zur’ah belum memiliki teman yang juga penghafal Al-Qur’an. Hingga tahun 1977, mulai ada tetangga yang juga menikahi perempuan penghafal Al-Qur’an, dari situ mulai ada teman simakan 3 orang penghafal Al-Qur’an di Kulon Progo. Kemudian sedikit demi sedikit simakan ke pondok-pondok pesantren berkeliling. Dan setelahnya banyak yang mengadakan simakan dan masyarakat ikut kegiatan simakan tersebut.

Pertama kali anak yang menghafal Al-Qur’an dengan Ibu Zur’ah bernama Karni. Mulai mengaji Bulan Syawal, Bulan Sya’ban sudah khatam, dengan deresan setengah juz harus lanyah setiap menambah hafalan. Terhitung, satu tahun santri pertama Ibu Nyai Zur’ah menyelesaikan hafalannya. Hingga kini, Ibu Nyai Zur’ah masih terheran-heran mendapatkan murid pertama yang sanggup menyelesaikan hafalan secepat itu sebagai santri kalong. Beberapa tahun kemudian, ada beberapa santri putri yang berniat menghafalkan Al-Qur’an, kemudian oleh Bapak Kiai Saifuddin dibuatkan ruangan khusus untuk santri di pojok rumah. Disingget untuk 2 santri.

Seiring berjalannya waktu, santri semakin bertambah dan sudah sangat membutuhkan ruangan sendiri. Atas musyawarah bersama Ibu Zur’ah, Bapak Kiai Saifuddin merapatkan pada masyarakat dan kerabat untuk membangun pondok pesantren. Rencana tersebut terealisasi pada tahun 2000, yaitu membangun bangunan pondok di atas mushola.

Berkat keistikamahan dan kesabaran Bapak Kiai Saifuddin dan Ibu Nyai Zur’ah, santri semakin bertambah, alumni-alumni penghafal Al-Qur’an semakin banyak, bahkan tidak sedikit yang mendirikan pondok pesantren sendiri setelah menjadi alumni. Pondok pesantren yang didirikan oleh KH. Saiffudin dan Ibu Nyai Hj, Siti Zur’ah yang diberi nama An-Nadwah itu semakin berkembang dari tahun ke tahun. Hingga tahun 2021 ini memiliki 36 santri putri dengan 20 penghafal Al-Qur’an dan 18 santri putra.Hingga kini, Ibu Nyai Zur’ah aktif dalam majelis-majelis simakan Al-Qur’an bahkan karena kualitas hafalan yang tidak diragukan lagi, Ibu Nyai Zur’ah terpilih menjadi ketua JMQH Kulon Progo. Komunitas para wanita penjaga Al- Qur’an.

Keistikamahan Ibu Nyai Siti Zur’ah dalam proses menghafal Al- Qur’an sehingga membuahkan hasil sesuai usahanya, sangat perlu dicontoh oleh generasi penghafal Al-Qur’an masa kini. Kesabaran dan tidak pernah menyerah dengan keadaan demi mendakwahkan agama Allah sangat menginspirasi untuk tidak putus asa dalam dakwah.

Demikian Nyai Siti Zur’ah Sang Penjaga Al Qur’an dari Kulon Progo. Semoga bermanfaat.

Penulis: Febiola Cindi Fatika Dita, Sedang menempuh pendidikan S1 di IIQ An-Nur Bantul. Saat ini sedang menuntut ilmu di Pondok Pesantren Miftahul Ulum 2 Jejeran, Wonokromo, Bantul.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here