(Sebuah dialog lintas iman Pemenuhan Hak Keagamaan penyandang Disabilitas)
Acara bedah buku ini di laksanakan Pondok Pesantren Bumi Cendekia pada 3 November 2019, terselenggara atas kerjasama divisi Hukum Politik dan Advokasi PW Fatayat DIY dan PC Fatayat NU Sleman dengan YAKKUM Yogyakarta, dengan tiga pembicara, yakni Bahrul Fuad (Cak Fu) sebagai praktisi, konsultan disabilitas dan inklusi sosial, Pendeta Cristiono-Pendeta Gereja Krinten Kemandang dan Rm. Robertus Hardiyanto-Pastor Paroki St. Petrus dan Paulus Babadan yang dipandu oleh moderator Dr. Astri Hanjarwati.
Sebelum acara inti bedah buku dimulai, KH. Imam Azis, sebagai pengelola pondok pesantren bumi cendekia yang juga salah satu ketua PBNU menjelaskan mengapa buku fiqh penguatan disabilitas ini dibuat dan mengapa PBNU membahas/merasa penting untuk membahas terkait disabilitas dalam acara Munas Alim Ulama di Lombok NTB tahun 2018. Hasil dari Munas Alim Ulama yang dalam bentuk draft tersebut kemudian menjadi bahan bagi buku Fiqh Penguatan Penyandang Disabilitas yang disusun oleh Lembaga Bahsul Masail (LBM) PBNU, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Pusat Studi Layanan Disabilitas Universitas Brawijaya (PSLD-UB).
Menurut Cak Fu (Bahrul Fuad), selama ini difabel belum dianggap sebagai manusia sebagaimana manusia pada umumnya. Banyak yang memandang difabel sebagai hukuman, Mengapa penting berbicara fikih bagi disabilitas?karena disabilitas dipandang sebagai ujian dan sebelah mata. Kaum difabel dianggap sudah diampuni semua dosa dan lain-lain. Kalau disabilitas dianggap sebagai manusia yang tidak sempurna, maka manusia yang sempurna seperti apa?. Kalau Tuhan Maha semppurna, maka yang diciptakannya tidak pernah keliru, tidak pernah lupa dan sempurna adanya. Tapi kenapa banyak yang melihat disabilitas sebagai manusia yang tidak sempurna padahal yang menciptakan saya adalah Maha sempurna. Sehingga di dalam Islam, memperjuangkan disabilitas itu memperjuangkan ketauhidan. Dalam Qur’an disebutkan, Bahwa manusia disebutkan sebagai sebaik-baik ciptaan, dan Tuhan melihat kesempurnaan manusia dari amal sholeh, akhlak dan ketaqwaan dan bukan dari fisiknya.
Dalam literatur Islam, disabilitas memang tidak di bahas di dalam bab khusus di dalam kitab kitab fiqih, tetapi di dalam fikih klasik banyak dibahas soal mereka yang punya hambatan, yang buta, yang tuli dan lain sebagainya, termasuk orang yang sakit. Difabel juga seringkali dimasukkan dalam kategori orang sakit menggunakan pendekatan rukhsah (keringanan). Di dalam fikih klasik ternyata difabel memang tidak banyak dibahas secara mendalam karena sudah dipatok dengan rukhsoh. Jika Pendekatan dispensasi jika terus dipakai, maka tidak akan ada masjid diperbaiki dengan ramah difabel. Khutbah di masjid juga tidak perlu memakai alih bahasa.
Sebagai difabel, kalau tidak sekolah tinggi, kalau tidak susah payah berusaha sekolah, maka tidak akan diajak bicarasecara “setara”. Ada tiga tembok yang harus kami jebol yang berat dilakukan bagi kaum difabel, yakni meyakinkan diri sendiri bahwa kami bisa, karena banyak difabel yang malu,yang kedua adalah keluarga, tidak semua orang tua membiarkan anak difabelnya untuk keluar rumah untuk kuliah. Yang ketiga adalah stigma sosial dan aksesibilitas terhadap fasilitas umum.
Adapun menurut Pendeta Cristiono keterbukaan gereja kata kunci yang penting dalam kebersamaan, bekerjasama dengan berbagai pihak dan merayakan kehidupan ini bersama-sama. Ini merupakan anugerah tidak hanya bagi teman-teman disabilitas tetapi juga anugerah bagi kita bersama. Buku ini memberi inspirasi untuk memberikan perubahan baik bagi disabilitas, masyarakat umum dan juga gereja. Di gereja misalnya belum ada penyandang disabilitas ditahbiskan menjadi pendeta di gereja kristen jawa, juga terkait dengan hambatan dalam pelayanan agama.
Menurut Romo Robertus Hardiyanto-Pastor Paroki St.Petrus dan Paulus. Paroki St.Petrus dan Paulusadalah satu satunya paroki di keuskupan Semarang yang mempunyai SLB. Buku Fiqh disabilitas ini, sunggguh sungguh memandang harkat martabat manusia yang sesungguhnya. Dalam pandangan gereja katolik, manusia diciptakan sebagai gambar/citra Allah, maka jika demikian sebagai apapun wujudnya adalah citra Allah. Ini adalah hal yang paling mendasar, karena dalam kitab Injil disebutkan mengapa diciptakan difabel, kata Yesus, itu merupakan pancaran kemuliaan Allah.
Acara diskusi dan bedah buku Fikih Disabilitas ini diikuti dengan antusias oleh para peserta kurang lebih 200 orang hingga akhir acara dengan berbagai doorprize yang disediakan oleh teman-teman divisi politik, hukum dan advokasi dari PW Fatayat NU DIY sehingga menambah kemeriahan acara. (Zunli)