Oleh: Kurdi Fadal

Berbagai negara di dunia sedang dilanda Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). Indonesia sendiri sejak beberapa hari terakhir telah menaikkan status menjadi Darurat Bencana Virus Corona seiring semakin melonjaknya korban yang terjangkit. Bahkan, pada 17 Maret 2020, Kepala BNPB telah mengumumkan perpanjangan status hingga 29 Mei 2020.

Bencana wabah penyakit juga pernah terjadi pada masa pemerintahan Umar bin Khattab. Beberapa sahabat Nabi yang lain bahkan menjadi korban dari wabah tersebut.

Bagaimana Amirul Mukminin, Umar bin Khattab dan para sahabat menghadapi wabah penyakit tersebut?

Umar bin Khattab adalah sahabat Nabi yang telah banyak memberikan sumbangsih besar bagi perjalanan sejarah Islam. Di masa kenabian, Umar selalu menjadi andalan menghadapi musuh-musuh Islam. Ketika diberi mandat menjadi khalifah, ia sangat sangat tegas dalam mengambil keputusan demi kebaikan dan kesejahteraan rakyatnya, termasuk kebijakan yang tidak populer.

Di bawah kepemimpinan Umar, ajaran Islam berkembang sangat pesat dan tersebar ke berbagai penjuru wilayah. Namun, salah satu ujian terberat terjadi pada tahun keenam masa kepemimpinannya yakni tahun 18 Hijriah / 561 Masehi. Di tahun ini, Islam menghadapi dua ujian besar. Pertama, sebagian wilayah kekuasan Islam dilanda kekeringan dan kelaparan. Kedua, pada saat yang sama, umat Islam diuji dengan wabah penyakit mematikan. Dalam berbagai literatur sejarah Islam, wabah ini dikenal dengan Tha’un ‘Awamas (wabah penyakit ‘Awamas). Nama ‘Amawas diambil dari daerah asal lahirnya penyakit, yakni sebuah desa kecil di negeri Damaskus.
Tahun itu dikenal dengan ‘tahun kelabu’ di zaman Umar karena dua bencana kemanusiaan tersebut.

Lalu apa yang dilakukan Umar sebagai pemimpin?

Untuk mengatasi kekeringan dan kelaparan, Umar memberikan beberapa keputusan strategis, di antaranya, mendistribusikan berbagai kebutuhan pokok ke berbagai wilayah terdampak, dan melarang keras penimbunan bahan kebutuhan. Umar juga mengajak masyarakat untuk melakukan shalat istisqa’ dan berdoa memohon hujan kepada Tuhan.

Untuk menangani wabah penyakit yang terjadi di negeri Damaskus, Umar menempuh langkah-langkah strategis.

Pertama, memerintahkan gubernur Abu Ubaidah bin al-Jarrah untuk mengisolasi rakyatnya.

Kedua, mengurungkan perjalanannya menuju Damaskus. Pembatalan itu terjadi saat Umar bersama rombongan sudah sampai di Sargha, sebuah desa di wilayah Tabuk, setelah adanya kabar pandemi virus ‘Amawas di wilayah Damaskus.

Keputusan itu diambil setelah melalui musyarah yang cukup alot dengan para sahabat yang lain, dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Kemudian, Abd al-Rahman bin Auf menyampaikan pesan Nabi:

إِذَا سَمِعْتُمْ بِالطَّاعُونِ بِأَرْضٍ فَلاَ تَدْخُلُوهَا وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا مِنْهَا

“Jika kalian mendengar adanya wabah di suatu negeri maka janganlah kalian memasukinya. Namun, jika terjadi wabah di tempat kalian berada maka jangan tinggalkan tempat itu.” (HR Bukhari, Muslim, dan Ahmad).

Umar memilih untuk menghindari wabah penyakit mematikan. Ia menjauhi satu tadir (terjangkit wabah) menuju takdir yang lain (selamat dari wabah).

Abu Ubaidah bin al-Jarrah (58 tahun), Muadz bin Jabal (38 tahun) lebih memilih takdir yang pertama, hingga mereka rela mati syahid menghadapi wabah penyakit tersebut. Selain mereka, sahabat Nabi yang meninggal karena pandemi ‘Awamas tersebut adalah Abdurrahman bin Muaz, Yazid bin Abi Sufyan, al-Harits bin Hisyam, dan Suhail bin ‘Amr.

Sementara sahabat dekat Nabi yang memilih takdir kedua (menghindar dari wabah), selain Umar, adalah Abdurrahman bin Auf. Saat Abdurrahman mengambil alih kepemimpinan negeri Damaskus, ia mengajak masyarakat untuk menghindari wabah. Bersama Umar dan Abu Ubaidah bin al-Jarrah, Abdurrahman bin Auf adalah tiga sahabat pemuka Nabi yang mendapatkan jaminan masuk surga.

Para ahli sejarah mencatat, korban meninggal karena wabah penyakit ‘Awamas mencapai 25 ribu orang. ‘Awamas adalah wabah penyakit pertama yang terjadi di dunia Islam pasca wafatnya Nabi, walaupun di zaman Nabi pernah terjadi wabah penyakit serupa namun tidak menyerang umat Islam, yakni pada tahun keenam Hijrah.

Beberapa hal yang bisa dijadikan pelajaran bagi kita saat ini di tengah pandemi Covid-19.

Pertama, kebijakan lockdown wilayah tertentu dan isolasi merupakan langkah tepat menghindari atau meminimalisasi korban lebih banyak. Masyarakat dituntut untuk melakukan social distancing;

Kedua, pemerintah harus memastikan supply ketersediaan kebutuhan masyarakat di masa lockdown dan isolasi. Karena itu, tidak boleh ada praktik penimbunan bahan kebutuhan masyarakat. Pemerintah harus melarang dan menindak tegas praktik, agar masyarakat tidak mengalami kepanikan lebih parah.

Ketiga, wabah penyakit tidak mengenal status sosial, pekerjaan, dan agama atau tingkat religiusitas seseorang. Para sahabat Nabi yang menjadi korban wabah penyakit ‘Amawas adalah para sahabat pilihan Nabi Muhammad. Mereka tentu saja tidak diragukan keshalehan dan ibadahnya, yang setiap saat berwudhu’ dan melakukan shalat. Karena itu, berbagai upaya mesti kita lakukan, baik upaya rasional maupun spiritual, agar selamat dari Covid-19. []

Referensi:
Al-Zarqani, Sharah Muwattha’, Juz 4.
Ibnu Hibban, Sirah Ibnu Hibban, Juz, 2.
Ibnu Ishaq, al-Sirah al-Nabawiyah, Juz 1
Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah, Juz 1
Ibnu Khaldun, Tarikh Ibnu Khaldun, Juz 2.

sumber: bangkitmedia

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here