Oleh: Rizal Mumazziq Z

Bu Sudjiatmi Notomihardjo kapundut. Wafat. Mangkat. Beliau orang biasa, yang melahirkan sosok biasa, namun kemudian diberi amanah menjadi orang nomor satu di negeri ini. Inilah letak ke-luar biasa-annya. Saya salut pada beliau. Hormat setinggi-tingginya. Kedudukannya selevel dengan Ida Ayu Nyoman Rai, Sukirah, Tuti Marini Puspowardodjo, Sholihah Wahid Hasyim, Fatmawati, dan Habibah Soekotjo. Semua adalah Sang Ardhanareswari: perempuan yang melahirkan para raja.

Ketika melepas, kemudian mendukung anaknya, Joko Widodo, menjadi walikota Solo, lalu Gubernur DKI, kemudian naik menjadi RI-1, saya yakin, Bu Noto, panggilan akrabnya, siap dengan resiko dirisak, bahkan difitnah.

Bu Noto agak “apes”. Dia mendampingi anaknya di era “matinya kepakaran”, era medsos, dimana segala perilaku menjijikkan dalam politik dipertontonkan secara vulgar. Era hoaks merajalela.

Era Pilpres 2014 dan 2019, dua episode pilpres paling brutal, menjadi bagian dari episode kehidupannya. Bu Noto dihajar isu: perempuan yang disewa Jokowi agar mengaku-aku sebagai ibunya, anak PKI, mantan Gerwani, dan lain sebagainya. Isu yang baru muncul semenjak Jokowi nyapres, dan belum “dimainkan” ketika dia Nyakot dan Nyagub. Bu Noto tegak. Tidak limbung. Dia tipikal perempuan Jawa; memilih menjadi tenaga pendorong di belakang, sembari menyusun pertahanan diri dan keluarga. Coba cek, ketika ada acara keluarga, ngunduh mantu atau kelahiran cucu, misalnya; Bu Noto memilih di belakang. Tidak tampil secara mencolok. Sehingga wajar jika ada pembenci Jokowi kemudian merisak; “Di mana nenek itu?”, pada saat Jokowi mantu anak kedua. Pembenci ini menganggap bahwa Bu Noto tidak hadir dalam acara resepsi cucunya. Ini menjadi dasar kecurigaannya, jika Bu Noto hanya “wanita yang disewa” untuk mengaku sebagai ibunya Jokowi. Duh, kah! Imajinasinya melampaui halusinasi “Ustadz” Zulkifli M. Ali dan “Ustadz” Baiquni.

Urusan marwah ibu, bagi saya, sangat sakral. Sesakral pusaka. Nggak bisa terima jika dihina apalagi difitnah. Karena itu, sangat beralasan jika dalam momentum merajalelanya virus Corona dan ekonomi yang lesu ini, Jokowi kehilangan salah satu sumber doa dan energinya. Jokowi bisa berdiskusi dengan para menteri, bisa meminta pertimbangan istri dalam urusan ini-itu, atau punya tim khusus dalam wilayah tatanegara, tapi soal energi doa dan restu, ibu tetap nomor satu.

Ketika ada teman berkata keji, kalau Bu Noto hanya perempuan sewaan yang dibayar untuk mengaku sebagai ibunya Jokowi, saya protes. Ini sensitif, lho, jangan aneh-aneh. Dia menjawab, kalau salah, mengapa tidak ada klarifikasi?

Saya balas, tidak semua diklarifikasi, apalagi isu dari pembenci. Dijelaskan kayak apapun ya nggak ngaruh. Jadi, soal menanggapi isu tentang “ibu”, hati-hati dong. Ini sama halnya ibumu dituduh sebagai LONTE, piye perasaanmu? Sakit, kan!

***
Sampai Bu Noto wafat semalam, masih banyak psikopat di medsos yang membuat narasi buruk tentang beliau. Ngeri. Pilpres sudah selesai, Pak Prabowo sudah menjadi bagian dari kabinet, tapi ada sebagian mantan pendukungnya yang berkata tidak elok tentang almarhumah. Alasannya simpel. Mereka nggak suka Jokowi, lantas juga “menghabisi karakter” ibundanya. Yang lebih aneh lagi, dalam bulan Maret ini kita menjumpai banyak pencaci maki orang yang telah wafat. Sebelumnya ada Mustofa Maksum yang menulis status kasar saat Mas Alfa Isnaeni, Komandan Banser Nasional, wafat. Jenazah belum dikebumikan, dia nyetatus kurang ajar (Terus ini gimana kasusnya? Kok nggak ada lanjutannya?!). Setelah itu ada Maheer Thuwailibi, yang tiba tiba mencaci maki Gus Dur di Twitternya (ini nggak ada kelanjutannya, juga?! Duh, kah!).

Herannya, para pencaci maki orang yang wafat ini kok ya satu kubu. Mereka bagian dari….ah, tahu sendiri lah. Cek aktivitas mereka di medsos!

Kalau anda berteman di medsos dengan tipikal orang-orang seperti ini, unfriend saja. Nggak ada faedahnya. Sebab, kebencian dan kegoblokan itu persis virus, menular dengan cepat tanpa pilih-pilih obyek.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here