Sedikit tentang Waktu Pembayaran dan Pembagian Zakat Fitrah
Oleh: Ahmad Saifuddin
Waktu Pembayaran
Ulama’ mazhab Hanafi; waktu wajib membayar zakat fitrah adalah sejak terbitnya matahari pada Idul Fitri, karena nama zakat tersebut dikaitkan dengan hari raya fitrah yang menunjukkan waktu pembayarannya. Maka, apabila ada orang wafat sebelum terbit matahari pada hari raya idul fitri, maka ia tidak wajib membayar zakat fitrah
Jika seseorang membayar zakat fitrah pada awal Ramadlan atau sebelumnya hukumnya boleh. Dibolehkan juga menunda membayar zakat fitrah setelah shalat idul fitri, karena menurut mereka di dalam zakat fitrah terdapat makna saling tolong menolong, sehingga dengan makna ini kapanpun dibayarkan tujuan yang dikehendaki tercapai. Oleh sebab itu, menurut mereka keterlambatan membayar zakat fitrah tidak bisa mengugurkan kewajiban untuk membayarnya.
Menurut Jumhur Ulama’ bahwa waktu wajib untuk membayar zakat fitrah adalah sejak terbenamnya matahari di akhir bulan Ramadlan, karena waktu itulah yang disebut dengan waktu fitrah.
Maka, jika ada orang meninggal setelah terbenamnya matahari di akhir Ramadlan, maka ia wajib dikeluarkan zakat fitrahnya. Tentang mendahulukan waktu pembayaran; Imam Syafi’I membolehkan sejak awal Ramadlan, sedangkan Ulama’ mazhab Hanbali dan Maliki hanya dibolehkan maksimal tiga hari sebelum Idul Fitri. Tentang penundaan pembayaran; menurut Ulama’ mazhab Syafi’i dan Hanbali tidak dibolehkan tanpa uzur, bahkan mereka mengharamkannya, karena hadis Rasulullah disebutkan bahwa apabila dibayarkan setelah hari raya idul fitri, maka tidak dinamakan zakat fitrah lagi, tetapi sedekah biasa. Akan tetapi Ulama’ mazhab Maliki membolehkan membayar zakat fitrah setelah shalat Idul fitri dan kewajibannya tidak gugur sampai dibayarkan
Pendapat Ibn Hazm; bahwa waktu membayar zakat fitrah berakhir sampai dengan jelasnya sinar matahari dan habisnya waktu shalat Id. Mengakhirkan adalah haram. Menurutnya; barangsiapa yang tidak mengeluarkan sampai keluar waktunya , maka tetap tanggungjawab ada di pundaknya. Harta tersebut tetap menjadi milik orang yang berhak, dan muzakki haram menahannya bersamaan dengan harta lain. Dengan mengeluarkannya gugurlah kewajibannya, akan tetapi kewajiban kepada Allah tetap, karena menyia-nyiakan waktu, dan tidak bisa dibayar dengan apapun kecuali taubat.
Pembagian Zakat Fitrah
Sebagian besar di NU (Syafiiyah) menganggap bahwa pembayaran zakat (fitrah) kepada ‘amil (misalnya takmir masjid) itu akadnya wakalah. Karena akad wakalah, maka pada hakikatnya, ketika muzakki memberikan zakat kepada ‘amil, dia belum 100% menyelesaikan kewajibannya sebelum si ‘amil membagikan zakat (fitrah) itu kepada para mustahiq. Nah dalam hal ini, waktu pembagian zakat (fitrah) tidak bisa dilepaskan dari waktu pembayaran zakat (fitrah). Karena itu, sebagian besar warga nahdliyyin meyakini bahwa pembagian zakat fitrah oleh takmir masjid harus sudah selesai sebelum sholat ‘ied berakhir, karena jika membagikan zakat fitrah setelah sholat ‘ied hukumnya haram pelakunya berdosa, daan bagi muzakki harus mengqodho’ zakatnya karena muzakki dianggap belum membayarkan zakat (fitrah)nya.(Rujukan: Mushtofa Said al-Khin dan Mushtofa al-Bugha, al-Fiqh al-Manhaji ‘ala al-Madzhab al-Imam as-Syafi’i, juz 1, hal. 152). Mengakhirkan pembayaran dan juga pembagian zakat fitrah bertentangan dengan tujuan zakat fitrah yaitu untuk menyantuni para mustahiq (fakir dan miskin) pada hari raya iedul fitri (Syekh Abu Bakar bin Sayyid Muhammad Syatha, Hasyiyah I’anah ath-Thalibin, juz 2, hal. 197).
Pandangan ini mungkin akan sedikit bertentangan dengan pandangan kaum modernis terutama setelah kemunculan lembaga-lembaga amil zakat seperti BAZNAS dan LAZ, karena dalam perspektif pengelolaan filantropi modern, dana filantropi termasuk zakat tidak cukup hanya dikelola sebagai keperluan konsumtif, tetapi harus dikelola secara produktif. Nah pengelolaan secara produktif ini mengharuskan long time management tentang filantropi. Logika yang biasa dipakai adalah, biasanya kebanyak orang (fakir miskin) kalau hari raya lumayan cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya pada hari raya ‘iedul fitri karena banyak yang menyantuni, tapi pasca itu tidak banyak orang yang peduli terhadap mereka. di situ lembaga filantropi harus hadir. Kehadiran lembaga filantropi hanya bisa jika pengelolaan dana-dana filantropi dikelola secara produktif dan jangka panjang. Hadits Abdullah ibn Umar ini yang sering dijadikan dalil tentang hal tersebut.
عن ابن عمر رضي الله عنهما أنه قال: اذا انصرف رسول الله صلى الله عليه وسلم من الصلاة قسمه بينهم فقال: اغنوهم عن طواف هذا اليوم.
“Dari Abdullah bin Umar semoga Allah meridai mereka berdua. Sesungguhnya Abdullah bin Umar berkata, ketika Rasulullah Saw pulang dari shalat beliau bagikan pembayaran zakat fitrah itu diantara orang-orang. Beliau bersabda, “berilah mereka kecukupan sehingga tidak keliling minta-minta pada hari raya ini” (HR Ibnu Wahab).
Menurut saya pribadi, sepertinya cara berpikir seperti ini akan banyak diikuti terutama di kota-kota karena adanya tuntutan pengelolaan dana-dana filantropi secara profesional dan modern.
Wallahu a’lam bish shawab.
Al-haqir Ahmad Saifuddin