Oleh: Khotimatul Husna
Semangat kaum feminis menyuarakan “kedirian” perempuan menjadi fenomena tak terbantahkan oleh zaman. Dimulai sejak abad ke-17 (ketika istilah feminisme pertama kali digunakan), para pejuang hak-hak perempuan bergerak terus mendesak perubahan nasib bagi perempuan menuju kondisi yang lebih baik dan adil, bangkit dari “kejayaan” patriarki, yakni dunia yang didominasi laki-laki.
Dominasi maskulinitas memang sangat hegemonik,sehingga segala sisi hidup manusia yang bernuansa laki-laki dengan mengedepankan nilai-nilai kekuasaan, kekuatan, kekerasan telah menjadikan harmoni dunia lenyap karena terpenjaranya nilai-nilai feminitas yang berwujud cinta, kasih sayang, dan perdamaian. Bahkan, hegemoni maskulinitas itu sejak lama memasuki wacana agama, sehingga tafsir teks agama yang berkembang dan dijalankan sebagian besar merupakan tafsir yang cenderung patriarkhal.
Padahal, sumber ajaran agama berupa kitab suci tidak ada yang mengajarkan dominasi satu jenis atau golongan atas jenis atau golongan yang lain, melainkan selalu mengajarkan keseimbangan hidup antara dua sisi yang berbeda untuk berpasangan. Dalam agama Kristen misalnya, dalam Alkitab kitab Kejadian Pasal 1 dan 2, terutama Kejadian 1:26:27 disebutkan,manusia diciptakan Allah. Manusia yang diciptakan itu laki-laki dan perempuan.
Penjelasan Kitab Kejadian ini menunjukkan, baik laki-laki maupun perempuan mempunyai tanggung jawab sama di hadapan Allah, sama-sama berpotensi mewujudkan rupa Allah dalam perbuatan yang akan mencerminkan sifat Ilahiah. Karena itu, perempuan dengan sisi feminin yang menonjol berpeluang mengedepankan sisi profetik sebagaimana ditunjukkan oleh Nabiah Miryam. Dengan basis spiritualitas tanpa menggunakan kekerasan, Miryam mampu menaklukkan kekuasaan yang sangat lazim yang disimbolkan dengan Firaun (Kitab Keluaran 2:7-8).
Dalam Islam, Alquran juga mengajarkan bahwa nilai-nilai feminin tak dapat diingkari, karena merupakan bagian dari sifat dunia yang polar, maskulin-feminin, male-female, yin-yang, dzakar-untsa. Keberagaman dunia merupakan sistem yang sengaja diciptakan Tuhan agar antar-makhluk saling berinteraksi satu sama lain. Oleh karena itu, mengingkari nilai feminin-atau menafikan satu unsur kemajemukan dunia-berarti melanggar sunnatullahatau hukum alam (QS. 49:13), yang dapat menyebabkan ketidakseimbangan dunia.
Nilai feminin ini tercermin dari jiwa atau nafs, bentuk kata benda feminin yang berarti spirit kedamaian atau nafs muthmainnah (QS. 88:27-28), bukan seperti stereotip yang selalu menganggap nilai feminin sebagai nafs penghasut, yang dicitrakan dalam diri perempuan sebagai Hawa atau Zulaikah. Meskipun nafs juga mengandung unsur lawwamah (menuduh atau menghasud), namun hal itu bisa dikalahkan oleh unsur muthmainnah melalui proses pendekatan pada Tuhan. Oleh karena itu, dalam dunia spiritualitas, perempuan bisa mencapai tahapan tertinggi pada puncak asketis dan ketenangan batin karena jiwa tadi memang bersumber dari unsur feminitas. Bahkan, Dzat-kata ganti Tuhan dalam bahasa Arab-merupakan bentuk kata benda feminin yang menunjukkan dalam Tuhan terkandung unsur feminin, selain kata ganti huwa atau dlomir hu dari kata ganti laki-laki yang biasa digunakan untuk menggantikan kata Tuhan. DzatTuhan yang feminin berwujud dalam sifat-sifat-Nya, seperti kasih sayang (ar Rahim), kelembutan (al Lathiif), damai ( as Salaam), dan lain-lain, di samping sifat maskulin Tuhan, seperti pemaksa (al Qohhar), yang kuat (al Qowwiy), yang menjaga (al Muhaimin), dan lain-lain.
***
DZAT Tuhan merupakan hakikat yang dituju, didambakan, dan diharapkan setiap hamba yang mendalami spiritualitas keagamaan. Fenomena spiritualitas yang lebih dekat dengan unsur feminitas tersebut, ditunjukkan oleh sejarah mistisisme berupa pola pendekatan kepada Yang Tertinggi dengan mengedepankan jiwa yang feminin dalam diri para tokoh mistis.
Dalam sejarah mistisisme Islam-juga agama lain-dapat ditemukan perempuan dengan keunggulan spiritual, seperti Rabi’ah al-‘Adawiyah yang menyerahkan hidup untuk mencintai Tuhan-nya, sehingga tidak bisa menemukan cinta lain karena kesempurnaan cinta telah ditemukannya dalam Tuhan.
Nama lain adalah Maryam, Fatimah, Khadijah, Aisyah, dan lain-lain, sebagai sosok yang konsisten dengan cintanya kepada Tuhan. Mereka selalu berjuang mencintai Tuhan-nya sehingga mereka mendapat julukan kembang peradaban (julukan yang diberikan Annemarie Schimmel dalam Jiwaku adalah wanita). Bahkan, juga Zulaikha-perempuan yang kontroversial-sebagai seorang hamba dan avonturir dalam perjalanannya untuk mencari keindahan Tuhan, telah menemukan kesempurnaan dan keindahan-Nya dalam diri Yusuf, akhir pencariannya adalah bisa bersatu dengan keindahan tersebut.Di sanalah puncak spiritualitas, yakni pertemuan dengan Yang Maha atas segala keindahan.Sedangkan dalam agama Budha, Sang Budha mendirikan Bikhuni Sangha sebagai wadah bagi perempuan mencapai tingkat tertinggi dalam agama, dengan menjalankan Dharma. Keserasian batiniah yang ditekankan dalam agama Budha, melahirkan figur panutan seperti Dewi Tara, Prajnaparamita, dan Bodhisatva Kwan Im.
Agama Hindu pun mengakui kekuatan spiritualitas perempuan dan menyembah kekuatan ini yang disebut Stri Shakti yaitu bahasa Sansekerta untuk kekuatan perempuan yang diwujudkan berupa kuil atau purayang dipersembahkan kepada Durga, Kali, Laksmi, nama – nama dewi perlambang Stri Shakti. Tanpa Stri Shakti para Dewa tidak dapat mencipta (Gedung Bagoes Oka, Wanita dalam perspektif Hindu). Demikianlah perempuan diakui mempunyai peran besar dalam mengubah wajah dunia dengan kekuatan spiritualitas tanpa kekerasan.
Dalam sejarah tokoh spiritual laki-laki, seperti Rumi, Ibnu Arabi, dan lain-lain, dalam perilaku dan amaliah mistisnya cenderung mengedepankan unsur feminitas untuk menampakkan kasih Tuhan kepada manusia. Jalaluddin Rumi dikenal sensitif dengan syair-syairnya yang lembut dan syahdu menyentuh nurani. Demikian juga Ibnu Arabi, tokoh sufi, penyair, dan filsuf yang cenderung feminin dalam karya-karyanya.
Spiritualitas tidak mengenal jenis kelamin, laki-laki atau perempuan. Dalam spritualitas, jenis kelamin adalah profan karena merupakan simbol duniawi. Dalam dunia spirit, tidak dikenal eksistensi individu karena bertentangan dengan sifat keabadian, sedangkan spiritualitas adalah dunia jiwa abadi yang bersifat feminin.
Keintiman spiritualitas dan feminitas pada akhirnya melahirkan sifat kenabian sebagai pantulan cahaya Tuhan yang memenuhi jiwa suci. Oleh karena itu, perempuan mempunyai potensi besar untuk menduduki puncak profetik dengan kesahajaan feminitasnya untuk mewujudkan perdamaian dunia dan keselamatan umat manusia, sebagaimana yang diperintahkan oleh Tuhan kepada nabi-Nya.
*Tulisan pernah dimuat di Kompas, Senin, 17 Februari 2003