Nasehat Untuk Suami:
Jima’, iltiqa’ dan dukhul.

Oleh: KH. Imam Nakha’i

Sebagai lelaki, saya terkaget ketika fasilitator yg perempuan bertanya pada peserta yg mayoritas perempuan. Seperti biasa, Saya berada ditengah tengah mereka. Pertayaannya menggoda “adakah istri yg pura pura orgasme ketika melakukan hubungan seksual? ” tayanya.


Yang mengejutkan adalah jawaban mereka ” banyakkk” jawabnya. Jiwaku lalu masuk dalam perjalanan keluargaku yg telah dikaruniai lima anak. Jangan jangan istriku juga kerap berpura pura orgasme.


Jawaban mereka, mengingatkan saat saya memberikan pelatihan merajut keluarga sakinah. Saya betanya pada ibu ibu, apakah setiap senggama selalu sampai pada puncak kenikmatan? Mereka jawab tidak, berbeda dengan jawaban laki laki dengan pertayaan yang sama.


Mengapa banyak ibu ibu yg tidak sampai pada puncak kenikmatan hubungan seksual?
Menurut mereka banyak sebab, antara lain: suami yg egois, gangguan sensitivitas pada perempuan karena dikhitan, pandangan budaya dan juga agama yg tidak memandang penting seksualitas perempuan.


Saya ingin melihat dari aspek terahir ini, budaya dan agama. Ada perubahan konsep hubungan seksualitas suami istri dalam islam, yang menyebabkan seksualitas perempuan kerap terabaikan. Hal ini disebabkan pemahaman yang tidak tuntas terhadap teks suci.
Dalam islam, hubungan seksualitas disebut “jima’ ” dan liqa’. Beberapa hadist secara terang benderang menggunakan dua kata ini. Jima’ berasal dari kata jaama’a (جامع) yang berarti “saling” berkumpul. Kata jaama’a mengandung filosofi bahwa suami istri harus “saling” melakukan hubungan seksual dan saling menikmatinya. Istri bukan obyek dan sementara suami subyek. Suami istri adalah subyek obyek dalam satu tarikan nafas. Suami istri adalah setara dalam hubungan seksual. Kata Liqa Semakna dan sefilosofi dengan kata jaama’a. Hubungan seks bukan hanya menyatukan alat kelamin biologis, melainkan menyatunya (liqa’) jiwa, rasa dan asa. Itulah filosofi kata jima’ dan liqa’.

Namun 2 kata itu digeser dengan kata “dukhul” yang dimaknai secara dangkal. Kata dukhul seringkali dimaknai “masuk”, masuk kerumah, masuk pintu, masuk kota, masuk hutan, dll. Kata itu mengandung makna orang yang masuk sebagai subyek, sedangkan yg dimasuki (pintu, rumah, mobil, kebun dll) adalah obyek.


Fiqih juga kerap menggunkan kata dukhul dari pada jima’ dan liqa’ untuk menggambarkan hubungan seksual. Akibatnya perempuan lebih sering dijadikan obyek dan suami sebagai subyek. Sebagai obyek, perempuan bagaikan benda mati, tergantung akan dimainkan seperti apa oleh si subyek. Inilah akar kedhaliman dalam hubungan seksual.
Olehnya penting mengembalikan filosofi jima’ dan liqa’ untuk wujudkan keadilan dan kesetaraan dalam hubungan seksual. Sehingga tidak ada lagi kepura-puraan orgasme hanya karena untuk membahagiakan suami diatas penderitaannya sendiri.

Wallahua’lam

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here