Santri Mesti Menjelma Rahim Ibu

Oleh: Rozi Ahdar

“Seandainya negeriku… Seperti rahim Ibu….

Rawat kehidupan… Menguatkan yang rapuh…”

~Efek Rumah Kaca (ERK) – Ost Mata Najwa

Lagu ERK tersebut patut direnungkan para santri karena sangat sejalan dengan pesan untuk menjaga bumi dan menebar rahmat. Dengan merenungi lagu tersebut, setidaknya bisa mengurangi dampak dua masalah ummat manusia.

Yang pertama adalah problem disharmoni dengan alam. Rachel Carson dalam bukunya Silent Spring telah mereformasi pandangan manusia dalam menjaga bumi. Buku fantastis yang terbit tahun 1962 itu masih diperbincangkan hingga hari ini. Dijelaskan bahwa sentrum bumi bukan lagi hanya manusia, tapi juga air, tumbuhan, sungai dan hewan. Di awal bukunya, Carson menulis dongeng tentang masa depan. Kendati yang tertulis adalah dongeng, tapi itu justru menjadi realita hari ini.

Carson menggambarkan beberapa daerah di dunia ke depan akan ada pada fase “fishless” dan “birdless”. Itu terpampang nyata belakangan ini, betapa manusia tidak sadar banyak sungai-sungai tidak lagi dihidupi ikan, tapi dipenuhi busa dan sampah di sepanjang aliran. Rusa tidak lagi melintasi aspal di hutan, tapi aspal-lah yang melintasi hutan-hutan, merampas habitat burung-burung, monyet-monyet kerap terlihat di area jalan utama wisata alam. Suara burung yang indah lenyap, terganti suara dentuman batu dan besi kendaraan proyek. Setelah krisis kesehatan, dunia diprediksi akan mengalami krisis alam yang berdampak pada tidak teraturnya iklim.

Disadari atau tidak, selain maraknya penambangan dan deforestasi, membludaknya jumlah santri juga berdampak pada iklim global. Media sosial kini sesak dengan pamflet permintaan sumbangan untuk membangun Pondok Pesantren. Setelah dana terkumpul, maka yang terjadi adalah area hijau akan terkorbankan menjadi asrama dan ruang kelas. Area-area yang dulunya persawahan tidak lagi ditanami padi, tapi ditanami beton, entah untuk fasilitas olahraga, kamar mandi, atau aula untuk acara publik. Orang-orang hanya fokus memprotes masalah pemberangusan hutan namun abai dengan problem alih fungsi lahan hijau dan persawahan.

Yang ke-dua, masalah diskriminasi minoritas. Pembakaran masjid di Sintang beberapa waktu lalu menunjukkan betapa tidak pahamnya sebagian ummat tentang konsep toleransi. Memang ada fatwa MUI yang menegaskan beberapa kelompok minoritas (termasuk Ahmadiyah) itu sesat. Tapi sesat itu konteksnya adalah untuk tidak diikuti, bukan boleh dipukul, apalagi dibakar tempat tinggalnya.

Masalah kerusakan alam akan tereduksi melalui internalisasi pada jiwa santri dengan memahami kata merawat kehidupan atau menjaga bumi. Salah atunya dengan mendukung program semisal Eko-Pesantren. Itu adalah program pembangunan pondok berbasis ekologi. Jika pesantren belum menjalankan itu, santri bisa mulai mengusulkan pada pimpinan pondok untuk menyisakan dan menambah ruang hijau di area ponpes. Jika ponpes sudah menjalankan, santri tinggal menyokong dengan ikut berpartisipasi aktif dalam program ekologis yang direncanakan. Jika pun belum cukup berani mengusulkan ke pimpinan karena menjaga adab, setidaknya santri bisa berpikir dari hari ini, mulai merancang konsep pembangunan saat menjadi Kiyai nanti, dengan menerapkan pembangunan yang lebih memperhatikan lingkungan.

Problem diskriminasi minoritas akan berkurang saat santri memahami kata menguatkan yang rapuh, itu sejalan dengan menebar rahmat untuk semesta. Caranya adalah memahami minoritas bukan dari sudut ketersesatan, tapi dari sudut pandang kasih sayang. Perlu disadari, manusia tidak bisa memilih dari rahim mana ia lahir. Maka bayangkan kita lahir dari keluarga minoritas, tumbuh dan besar dalam pandangan sinis mayoritas, beribadah dibubarkan, membangun rumah dibakar.

Tidak ada yang akan memilih nasib seperti itu jika saja manusia boleh memilih lahir sebagai apa. Santri sebagai mayoritas harus mencoba juga cara pandang itu, dengan begitu akan timbul kasih sayang. Santri tidak boleh hadir ke kaum minoritas hanya untuk marah-marah, apalagi memaksakan keyakinan. Di banyak kasus, kaum minoritas sebenarnya tidak terlalu butuh diceramahi macam-macam. Mereka hanya butuh dipahami. Maka jika tidak ada kelebihan rizki, berkunjung dan mendengar cerita mereka dengan senyum sebenarnya sudah baik. Sebab senyum dan menenangkan serta memasukkan kebahagiaan ke hati orang lain itu juga ibadah. Tidak ada juga larangan untuk membantu yang tidak se-ormas. Kalau pun ada rizki lebih, bisa membantu dengan materi yang mereka butuhkan. Itulah bentuk rahmat yang sejati.

Santri hari ini harus mulai menyadari krisis iklim ke depan dan merubah cara pandang terhadap minoritas. Sebab santri turun ke bumi bukan hanya untuk menghafal dalil-dalil, tapi juga sebagai duta kasih sayang untuk dunia. Maka santri harus menjelma rahim Ibu, yang merawat kehidupan, menguatkan yang rapuh.

Demikian Santri Mesti Menjelma Rahim Ibu. Semoga bermanfaat.

  • Rozi Ahdar, Finalis Duta Santri Nasional 2021,

 

4 COMMENTS

  1. Penjelasan yang telah dipaparkan oleh penulis sangat mengena terhadap kita sebagai manusia akan kesadaran dan kepedulian terhadap keseimbangan alam. Tidak hanya memikirkan hubungan manusia dengan manusia, namun juga dengan alam sekitar. Penulis menerangkan bagaimana kondisi yang ada saat ini terkait oleh perilaku manusia kini terhadap alam.

    Selain itu, penulis juga menyadarkan pembaca mengenai keadilan akan hidup di dalam keberagaman. Yang dimana di dalam keberagaman tersebut nantinya akan ada kaum minoritas dan mayoritas, bagaimana sikap yang seharusnya diperlakukan seseorang di tengah perbedaan tersebut. Bukannya hanya menghakimi seseorang karna dianggap sesat lalu menyakiti kaum minoritas tersebut dengan cara-cara yang salah.
    Penulis mengajak pembaca untuk memahami kaum minoritas bukan dari kesesatan, melaikan kasih sayang.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here