Pengalaman Biologis Perempuan dalam Tafsir Keadilan Gender

Oleh: Nur Maulida

Sering kali agama disudutkan dan disalahpahami sebagai sebab lahirnya ketidakadilan gender. Secara harfiah seakan-akan agama memposisikan perempuan dalam situasi yang selalu inferior dan dianggap sebagai dogma patriarkis yang tidak boleh dipertanyakan oleh perempuan sebagai ketetapan dari Tuhan.

Hal ini disebabkan oleh minimnya pengetahuan menelaah porsi-porsi dalam Alquran dan hadis yang memilah antara budaya dan perubahan yang berkeadilan terhadap peran gender. Secara historis kedatangan Islam adalah peluang meruntuhkan tradisi patriarki, namun sayangnya perubahan yang berkeadilan dalam Islam justru masih didekati dengan tradisi patriarki. Alhasil tafsir dalam Islam justru cenderung mempertahankan budaya patriarki yang semakin kuat eksistensinya di masyarakat selama berabad-abad.

Beberapa feminis yang fokus terhadap kajian Islam berusaha mengkaji kembali pandangan Islam tentang keadilan gender dengan berbagai pendekatan secara historis, sosial, dan analisis teks-teks keagamaan yang dianggap misogini. Hingga menemukan titik terang bahwa sebenarnya teks agama melalui kajian secara ilmiah memiliki potensi untuk melawan ketidakadilan gender, salah satunya melalui pendekatan pengalaman biologis perempuan yang sering digaungkan oleh Dr. Nur Rofi’ah, salah seorang feminis muslim yang juga seorang dosen Pascasarjana Perguruan Tinggi Ilmu Aquran (PTIQ) Jakarta dalam kajian keadilan gender yang digagasnya.

Ada lima pengalaman biologis yang dialami perempuan, yaitu menstruasi (haid), hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui. Tafsir mubadalah menjelaskan bahwa kelima pengalaman biologis tersebut hanya dialami perempuan sebagai kodratnya yang tidak bisa diubah dan merupakan pengalaman yang menyakitkan bagi perempuan.

Pengalaman biologis perempuan telah banyak dijelaskan dalam Alquran dan hadis, di antaranya sebagai jawaban terhadap cara pandang masyarakat arab terutama masyarakat Yahudi. Sementara jika dibawa pada konteks saat ini, masih banyak riwayat hadis nabi dan keterangan dalam AlQuran yang dianggap multitafsir bahkan sebagian dianggap misogini (merendahkan), dengan melihat semakin beragamnya masalah ketimpangan gender di masyarakat.

Realitas pengalaman biologis perempuan sebagai landasan tafsir menurut Nur Rofi’ah adalah ayat kauniyyah yang tidak tertulis dalam teks dan hanya terbaca melalui realitas sosial di masyarakat seperti bentuk rasa sakit yang dialami  perempuan haid, beratnya mengandung selama 9 bulan, menyusui, pengalaman nifas paska melahirkan, dan lamanya masa periode pemulihan. Pendekatan tafsir dengan mempertimbangkan pengalaman tersebut sangat penting untuk mewujudkan keadilan gender dan produk fikih yang sangat dekat dengan pengalaman biologis perempuan.

Salah satu wujud sosial dan implikasi tafsir yang dekat dengan pengalaman biologis perempuan yakni adanya rasa empati dan simpati bagi perempuan yang mengalami pengalaman biologis tersebut, di mana kondisi perempuan bisa sangat lemah dan dapat sangat kurang produktif di masa-masa  tersebut, sehingga pengalaman biologis sebagai landasan tafsir dapat lebih memanusiakan perempuan terutama dalam ranah domestik, perempuan sering memikul beban ganda dan hanya dianggap objek seksual dalam pernikahan tanpa memperhatikan kesehatan reproduksi perempuan.

Salah satu tafsir yang berbicara mengenai pengalaman biologis perempuan adalah surat al-Baqarah ayat 222. Kronologi turunnya ayat ini dijelaskan dalam riwayat Imam Muslim bahwa sekelompok sahabat bertanya kepada Nabi tentang perilaku orang Yahudi yang tidak mau makan bersama dan bergaul dengan istrinya di rumah ketika si istri sedang haid, maka turunlah surah al-Baqoroh ayat 222 yang memerintahkan laki-laki untuk menjauhi perempuan yang sedang haid. Namun, selanjutnya Rasulullah menambahkan keterangan dari ayat tersebut “Berbuatlah apa saja kecuali jima’”

Para jumhur ulama berbeda pendapat mengenai kata mahidl dalam ayat tersebut. Beberapa mengatakan bahwa mahidl memiliki makna yang sama dengan kata perempuan yang haid, namun sebagian beranggapan bahwa mahidl adalah tempat keluarnya darah kotor sehingga implikasi tafsir ini menegaskan bukan wanita yang sedang haid yang dianggap kotor, namun darah haid tersebut yang dihukumi kotor.

Sementara menurut Dr. Nur Rofi’ah, kalimat فَٱعْتَزِلُوا۟ ٱلنِّسَآءَ فِى ٱلْمَحِيضِ (jauhi wanita yang sedang haid) dalam ayat tersebut semestinya disorot melalui makna kontekstual. Kata “jauhi”, sesungguhnya bukan karena perempuan dalam keadaan kotor, melainkan dalam keadaan lemah dan sakit serta kurang produktif di masa-masa tersebut. Implikasi tafsir “menjauhi” adalah memberikan waktu bagi perempuan untuk beristirahat agar segera pulih dari sakit menstruasi serta tidak memberikan perempuan beban yang berlebihan.

Menyadari pengalaman biologis ini diharapkan dalam ranah domestik dan publik laki-laki dan perempuan dapat menerapkan kesalingan menjalani tugas dan tanggung jawab secara bersamaan, sehingga beratnya pengalaman biologis tersebut bagi perempuan tidak membuatnya bertambah sakit. Jika semua dibebankan kepada perempuan tanpa adanya berbagi peran dalam rumah tangga antara suami dan istri bisa saja pengalaman tersebut tidak hanya berdampak pada fisik tetapi juga psikis.

Tugas dan tanggung jawab domestik menurut Imam Mazhab Syafi’i dan Hambali seperti mencuci pakaian, menimba air, dan menyiapkan segala keperluan suami bukanlah tanggung jawab perempuan, melainkan tanggung jawab suami. Pandangan dua Imam Mazhab tersebut sejalan dengan hadis nabi yang diriwayatkan oleh para imam hadis di antaranya Imam at-Tirmidzi, Imam Ahmad, dan Imam Bukhori yang terhimpun dalam kitab Maktabah syamilah. Aisyah r.a menceritakan Rasulullah dalam kesehariannya membantu pekerjaan keluarga di rumah dan mengurus keperluannya sendiri, seperti mencuci baju, menimba air, dan memerah susu kambing. Sayangnya, kisah valid ini kurang populer di masyarakat yang bermazhab Syafi’i, khususnya di Indonesia.

Pandangan yang dianut oleh dua mazhab tesebut sesungguhnya sangat relevan jika dimasukkan ke dalam pengalaman perempuan Indonesia di mana masih banyak yang memikul beban ganda dalam pernikahan. Tak kecuali saat mereka  menjalani proses biologis. Akan tetapi secara kultural, pemahaman masyarakat dan keterbukaan mengenai pengalaman biologis sangat minim. Masih menjadi hal yang sangat beku untuk dikomunikasikan. Padahal semestinya pengalaman biologis ini perlu dikomunikasikan terutama terhadap pasangan; laki-laki. Agar semakin banyak laki-laki yang memahami kodrat perempuan dengan siklus biologisnya berikut imbasnya yakni ada saat perempuan berkurang produktifnya, sehingga relasi kesalingan dalam menjalani tugas dan kewajiban dalam pernikahan adalah mutlak.

 

 

Refrensi :

Nur Rofi’ah,  Fiqih dan Pengalaman Perempuan https://mubaadalahnews.com/khazanah/detail_hukum_syariat/2020-03-02/115

Muhammad asnawi, nikah dalam perbincangan dan perbedaan (Yogyakarta: Darus salam 2004)

Nurdeni Dahri, Jurnal Reproduksi Perempuan Dalam Perspektif Islam (Tinjauan terhadap Haid, Nifas, dan Istihadhah) ,

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here