Oleh: Limmatus Sauda’
Dalam Alquran surat Al Baqarah ayat 222, haid atau masa haid disebut dengan adza. Pertanyaannya benarkah makna haid itu kotoran? Artikel ini akan menerangkan seputar makna dari kata haid dalam Alquran. Allah Swt berfirman:
وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ ۗ قُلْ هُوَ اَذًىۙ فَاعْتَزِلُوا النِّسَاۤءَ فِى الْمَحِيْضِۙ وَلَا تَقْرَبُوْهُنَّ حَتّٰى يَطْهُرْنَ ۚ فَاِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ اَمَرَكُمُ اللّٰهُ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ
Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haid. Katakanlah, “Itu adalah ‘adza’.” Karena itu jauhilah istri pada waktu haid; dan jangan kamu dekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh, Allah menyukai orang yang tobat dan menyukai orang yang menyucikan diri.
Sebagian mufasir memaknai kata adza dengan qadzr yang artinya kotoran. Jika dikroscek di Lisan al-‘Arab Ibn Mandhur, qadzr berarti kebalikan dari bersih, yakni kotor. Di kamus Al Munawwir juga sama, qadzr diterjemahkan dengan kotoran. Terjemah ini tampaknya yang dipilih oleh kemenag dalam karya terjemahan Alqurannya, bahkan di edisi terbarunya, edisi penyempurnaan 2019 masih tetap, tidak berubah, yaitu ‘kotoran’.
(Baca Juga:Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 222: Tuntunan Al-Quran dalam Memperlakukan Perempuan Haid)
Sementara itu, fitrah manusia cenderung pada bersih, sama sekali tidak menyukai kotor. Kotor adalah keadaan yang tidak rapi, tidak bersih yang membuat orang membenci dan tidak menyukainya. Kaidah umum ini semakin kuat mengingat ada hadis riwayat at-Tirmidzi no 2799 yang berbunyi, Allah itu bersih, dan menyukai kebersihan. Oke, final sudah. Allah menyukai kebersihan yang berarti Ia tidak menyukai kebalikannya, yaitu kotor. Jika Allah saja membenci sesuatu yang kotor, kenapa makhluk ciptaannya tidak? maka harus benci juga.
Nah, ketika keadaan haid itu disebut kotor, maka melalui alur pemikiran di atas, dapat dikatakan bahwa Allah membenci perempuan yang haid, karena keadaannya sedang kotor. Kesimpulan seperti ini membuat manusia di sekitarnya berpikir hal yang sama, mengikuti ‘perintah’ Allah. Oleh karena kotor, maka perempuan haid harus dijauhi dan dihindari. Sampai di sini, tidak heran ketika para laki-laki diperintah untuk menjauhi dan menghindari perempuan haid, karena mereka sedang dalam keadaan kotor.
Kesimpulan dan pemahaman seperti di atas berpangkal pada makna adza. Pemaknaan adza dengan ‘kotoran’ akan membawa nuansa sensitifitas negatif yang sangat tinggi bagi perempuan. Padahal haid atau tidaknya seorang perempuan adalah ketentuan dari Allah, kalaupun perempuan mencoba mengelaknya, maka akan berakibat fatal pada kesehatan fisik dan psikisnya.
Benarkah makna adza adalah kotoran?
Adza dalam Lisan Al-‘Arab tidak dipadankan dengan satu term yang lain. Di situ adza didefinisikan sebagai setiap sesuatu yang menyebabkan sakit, susah, rugi, bahaya atau semacamnya.
Definisi di atas menginformasikan bahwa kata adza memang tidak menunjuk pada satu makna tertentu. Di situ hanya disampaikan tentang sebuah kriteria, bukan kata benda, kata kerja atau kita sifat tertentu. Pengertian yang seperti ini akan membawa banyak tafsiran nantinya, terlebih ketika adza ada dalam ayat Alquran.
Terbukti dengan perbedaan penafsiran tentang adza dalam surat Al-Baqarah ayat 222. Namun agak unik juga ketika hanya di surat Al-Baqah ayat 222 saja makna adza menjadi sangat beragam hingga menimbulkan perdebatan. Apa karena menyangkut tentang haid, atau karena bersinggungan dengan perempuan, atau karena ada cerita kelam sebelumnya yang berkaitan dengan perempuan yang haid?
Kita lihat mulai dari at-Thabari. Sebagai mufassir senior, at-Thabari memberikan alternatif pilihan riwayat dalam menafsirkan adza. Di antara riwayat itu mengatakan bahwa adza adalah Ma Yu’dziy bihi min Makruh fihi (sesuatu yang menyakiti karena ada sesuatu yang tidak disenangi di dalamnya), qadzr (kotoran), dam (darah).
Tidak terlalu berbeda dengan seniornya, al-Qurthubi, mufassir yang tafsirnya cenderung fiqhiy ini menafsirkan adza tidak dengan satu tafsir. Ia menafsirkan adza dengan sesuatu yang menyebabkan perempuan menjadi sakit atau terganggu, yaitu darah haid, juga dengan qadzr dan makruh (sesuatu yang tidak disenangi)
Alternatif pemaknaan atas kata adza juga disampaikan oleh mufassir abad modern antara lain M. Ali Ash Shabuniy dan Wahbah Az Zuhaily. Hanya saja makna qadzr (kotoran) dijadikan sebagai pilihan makna pertama, layaknya sinonim dan makna yang paling dekat dengan adza. Setelah itu baru mereka menjelaskan lebih detail.
Sedangkan dalam koteks terjemah dan tafsir Indonesia, sebut saja Terjemah Alquran Kemenag dan tafsirnya, terjemah adza melahirkan polemik tersendiri.
Melalui Fathur Rahman Li Thalibi Ay al-Qur’an, ditemukan bahwa dalam Alquran, kata adza dan derivasinya ada di 23 tempat. di surat Al Ahzab [33]: 48, 53, 53, 57, 58, 59, 69; surat Ibrahim [12]: 14; surat As-Shaf [61]: 5; surat At-Taubah [9]: 61; surat An-Nisa’ [4]: 16, 102; surat Ali Imran[3]: 111, 186, 195; surat Al-An’am [6]: 34; surat Al-‘Ankabut [29]: 10; surat Al-A’raf [7]: 129; surat Al-Baqarah [2]: 196, 222, 262, 263, 264.
Dalam terjemah Alquran Kemenag, arti kata adza di 23 tempat tersebut terklasifikasi menjadi enam, yaitu menyakiti atau disakiti, mengganggu atau gangguan, hukuman, penganiayaan, kesusahan dan kotoran. Satu-satunya yang diterjemahkan dengan kotoran adalah surat Al Baqarah ayat 222. Meskipun demikian, kalau kita menelusuri dalam tafsirnya, akan didapati ketidak samaan dengan bahasa terjemahnya. Dalam tafsir Kemenag disampaikan bahwa haid itu adalah sesuatu, yakni darah yang keluar dari rahim wanita, yang kotor karena aromanya tidak sedap, tidak menyenangkan untuk dilihat, dan menimbulkan rasa sakit pada diri wanita.
Jika dalam terjemah diartikan dengan ‘kotoran’, maka itu menunjukkan kata benda, sebutan untuk suatu benda yang tidak disenangi. Sedang dalam tafsirnya, kotor dijadikan sebagai sifat dari darah, yang berarti haid itu darah yang kotor. ‘Kotoran’ dan ‘darah yang kotor’ sangat jelas merupakan dua hal yang berbeda makna dan maksudnya.
Meski sesama tafsir yang menggunanakan bahasa Indonesia, M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al Misbah mengalih bahasakan adza dengan ‘gangguan’, bukan dengan ‘kotoran’. Dua terjemahan yang berbeda ini membawa konsekuensi dan pemahaman yang berbeda pula, paling tidak ketika melabeli perempuan yang sedang haid.
Makna ‘kotoran’ membawa pada pengertian bahwa perempuan yang sedang haid berarti sedang dalam keadaan kotor, karena kotor maka harus dijauhi, kalau tidak, maka akan terkena kotor juga. Sedang makna ‘gangguan’ membawa konsekuensi bahwa perempuan yang sedang haid itu sedang dalam terganggu kesehatannya, atau bisa dikatakan sedang sakit. Perintah untuk menjauhi mereka itupun bukan karena kawatir ketularan terganggu atau ikutan sakit, tetapi lebih kepada meringkankan sakitnya dan tidak menambah ketergangguannya.
Jadi, silahkan anda tentukan sendiri terjemahan yang akan anda gunakan.
Wallahu A’lam
Kereen..lanjuuttt