𝗥𝗲𝗮𝗱𝗶𝗻𝗴 𝗥𝗼𝗼𝗺
Novelet: Ismaa Kazee
Sudah hampir tiga jam Salwa menatap nanar lembaran artikel yang ia print di East West Center, tapi otaknya tak juga berhasil memahami deretan kalimat dalam Bahasa Inggris itu. Buntu.
Ia tengah mengerjakan tugas reading response untuk kelas International Cultural Studies di reading room Hale Manoa. Tanggapannya atas artikel itu harus ditulis minimal seribu kata dan dikirim ke email professor dan teman-teman sekelasnya sehari sebelum kelas. Artinya hari ini sebelum pukul 00.00 dini hari ia harus sudah menyelesaikan tulisannya. Tujuh jam waktu tersisa.
Ruangan yang dipakai untuk belajar ini lumayan luas. Terdapat meja kursi yang bisa dipakai untuk kerja kelompok atau sendirian. Seperti meja kursi yang tengah dipakai oleh Salwa yang menghadap ke arah gedung IMIN Conference Center.
Setiap Jumat dan Sabtu malam ruangan ini beralih fungsi menjadi bioskop. Pengurus East West Center Program Affiliates (EWCPA) atau semacam Badan Eksekutif Mahasiswa di Hale Manoa memilih film yang akan diputar. Mereka juga menyediakan refreshment atau snack dan minuman untuk kudapan selama menonton.
Saat senja seperti ini reading room sudah mulai ramai. Meskipun ujian akhir semester masih dua bulanan lagi.
Bip bip
Notifikasi WA berbunyi. Sebuah pesan masuk. Salwa meraih telepon genggamnya.
“Lagi ngapain, Dik?”
Pesan dari Kafka menyapa.
Salwa membuang muka jengah, lalu membalas, “Ngerjain tugas reading response.”
“Tentang apa?”
“Tulisan Simone de Beauvoir, tentang the Independent Women.”
Jawaban terkirim. Salwa menunggu balasan hingga lima menit berlalu. Sepi. Tak ada pesan lagi. Akhirnya ia meletakkan teleponnya ke tempat semula. Tapi baru saja ia menyelesaikan bacaan satu kalimat di paragraph pertama, notifikasi WA berdering lagi.
Salwa meraih telepon genggamnya dan membaca pesan panjang yang dikirimkan Kafka.
“Maksudnya apa itu independent women? Wanita mandiri? Wah nggak benar itu. Nyalahi kodrat. Tulisan orang Barat emang suka aneh ya. Allah menciptakan manusia itu sudah sesuai sama pembagian tugasnya masing-masing. Kalau laki-laki jadi pemimpin dan bertanggung jawab atas wanita itu karena memang laki-laki mampu untuk memimpin, lebih cerdas, dan berpikiran luas. Iya to?”
Dada Salwa mendadak bergemuruh.
“Wanita itu secara fisik lemah, akalnya juga separo dari laki-laki, sudah semestinya dia dibimbing dan diatur. Baik buruknya wanita itu jadi tanggung jawab laki-laki. Itu aturan dalam Islam. Wanita di dalam Islam itu dimuliakan lho. Buktinya surga itu ada di bawah telapak kaki ibu. Kodrat wanita juga sudah jelas. Dia jadi ibu untuk anak-anaknya. Al-ummu madrasatun. Jadi kodratnya ya memang diam di rumah. Berbakti kepada suami dan keluarga. Pahalanya banyak.”
Membaca pesan panjang itu, Salwa jadi lemas. Matanya serasa berkunang-kunang.
Tiba-tiba masuk pesan susulan dari Kafka.
“Apalagi kalau wanita mau mengizinkan suaminya poligami, hehe
itu pahalanya tambah berlipat-lipat. Sudah itu jaminan surga.”
Pesan itu ditutup dengan dua icon tertawa terbahak-bahak.
Salwa mendadak jadi mual.
“Nggak ding, aku bercanda, Dik.”
Salwa terdiam. Memendam amarah. Ini bukan kali pertama Kafka mengirimkan tanggapan yang bagi Salwa terbaca sok tahu. Membuat rasa percaya dirinya goyah, apakah bisa ia mencintai dan menerima Kafka sebagai suaminya?
Makanya beberapa bulan yang lalu, ia sempat mematikan atau meninggalkan telepon genggamnya di kamar waktu ia sedang mengerjakan tugas. Ia tak ingin konsentrasinya buyar gara-gara tanggapan tak penting itu.
Tapi, usahanya hanya berhasil selama dua hari. Kafka tersinggung karena merasa dibatasi aksesnya untuk berbicara dengan Salwa, calon istrinya. Katanya, Salwa tak menghargainya sebagai calon suami. Karena ia sebenarnya juga bisa diajak berdiskusi.
Sedangkan bagi Salwa, bagaimana bisa menjadi teman diskusi jika ia selalu merendahkan semua artikel yang ditulis oleh sarjana Barat dan mengislamisasi semua pengetahuan dengan perspektif yang bias.
Pernah suatu ketika Kafka berkomentar. “Kenapa sih kamu mau sekolah di Amerika? Bukannya ke Mesir, Maroko, atau Libanon?”
“Saya dapat beasiswanya memang dari Amerika, Gus. Jadi sekolahnya ya ke Amerika atau Eropa atau Australia. Nggak ada pilihan ke Timur Tengah.”
Salwa seperti biasa menghindari perdebatan dan pertentangan. Ia mencoba bersabar menghadapi Kafka. Semua ia lakukan karena menghormati pilihan Abahnya dan keluarga besarnya.
Abah sudah bisa bersikap lunak dan memberinya izin untuk kuliah ke luar negeri, jadi tak ada salahnya jika Salwa juga mengalah dengan belajar beradaptasi memahami Kafka. Salwa masih berharap, Kafka akan bisa berpikir lebih terbuka dan menghargai dirinya sebagai perempuan yang memiliki pengetahuan.
“Dik …”
Pesan Kafka menyapa lagi.
“Kamu marah ya?”
Salwa mulai menulis balasan.
“Saya sedang memahami gagasan Njenengan, Gus. Cuma isi artikelnya memang
berbeda dari apa yang sudah Njenengan utarakan.”
“Memang isinya tentang apa?”
Duh, Salwa meruntuk. Rupanya ia salah memberikan jawaban. Harapannya jawaban itu bisa meredakan keinginan Kafka untuk berpendapat lebih lanjut. Tapi, ternyata malah memancing kerusuhan. Keadaan ini sungguh lebih rumit dari menulis reading response yang tak selesai-selesai.
“Gus, nyuwun pangapunten. Saya pamit ke toilet dulu.”
Hening sejenak. Lalu, pesan Kafka kembali muncul.
“Oh ya wis. Iki aku yo ditimbali Abah.”
Huffff, Salwa baru bisa bernapas lega. Ia menelungkupkan wajahnya ke atas meja. Ia merasa lelah jiwa, otak, dan raga. Jika boleh, rasanya ia ingin melambaikan tangan, menyerah. Tapi, kepada siapa?
Ia terus menunduk hingga tak sadar ada sepasang mata sipit sedang menatapnya dengan penuh rasa khawatir di sudut lain reading room Hale Manoa.
(Bersambung)
*Isma Kazee adalah penulis novel dan pengurus PW Fatayat NU DIY. Sekarang sedang menyelesaikan studi doktor di Leiden University