Oleh: DNH

Pada masa jahiliyah keberadaan perempuan selalu dianggap jauh lebih rendah daripada laki-laki. Kelahiran anak perempuan selalu diidentikkan dengan ketidakberuntungan. Hal itu  berbanding terbalik dengan kelahiran anak laki-laki yang selalu disambut dengan suka cita karena dianggap sebagai keberuntungan dan merupakan kebanggaan bagi keluarga. Bahkan, karena sangat rendahnya nilai perempuan pada masa itu banyak bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup. Fakta sejarah tersebut menunjukkan, secara historis terutama di masa pra-Islam perempuan  dianggap bukan manusia.

Fenomena sosial sebagaimana dalam fakta sejarah tersebut tidak hanya terjadi di Arab. Hampir semua bangsa di belahan dunia pada masa itu seakan memiliki konsesus yang sama terkait posisi perempuan di masyarakat: Perempuan selalu lebih rendah dari laki-laki. Namun, setelah Islam yang dibawah oleh Nabi Muhammad SAW hadir di tengah-tengah masyarakat Jahiliyah tersebut, secara perlahan tetapi pasti,  nilai perempuan mulai terangkat. Hal tersebut ditunjukkan dengan turunnya ayat al-Quran yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan termasuk mengangkat derajat kaum perempuan melalui etika memperlakukan perempuan secara baik di dalam keluarga sebagaimana yang secara eksplisit termaktub dalam QS. An-Nisa ayat 4 ( ..”Wa’aasyiruhunna bil ma’ruf ..). Berdasarkan pada anjuran dalam teks ayat tersebut, sangat terang benderang bahwa Islam melalui sumber rujukan utamanya (al-Qur’anul karim) sangat peduli terhadap bagaimana perempuan hendaknya diperlakukan oleh kaum laki-laki utamanya dalam relasi keluarga yang notabene merupakan bagian terkecil dalam sistem masyarakat. Penggalan ayat tersebut juga mengisyaratkan agar kaum laki-laki  harus menghargai serta memuliakan perempuan yang harus dimulai dari lingkungan keluarga. Jika di dalam keluarga perempuan sudah dinilai sama berartinya dengan kaum laki-laki maka di lingkungan masyarakat yang lebih luas pasti juga mendapatkan hal yang serupa. Dengan diperlakukannya perempuan secara ma’ruf (baik dan pantas), maka artinya perempuan bebas dari segala bentuk represi kaum laki-laki termasuk represi yang  disebabkan oleh adanya dominasi dan penguasaan laki-laki atas tubuh perempuan. Dengan konsep ma’ruf tersebut, seharusnya perempuan diperlakukan baik dan pantas sehingga perempuan juga dapat secara penuh berdaulat atas tubuhnya sendiri, bukan dalam bayang-bayang konstruksi budaya patriarki.

Bukti lain bahwa Islam mendukung  kedaulatan perempuan atas tubuhnya sendiri adalah berdasarkan pada hadist Nabi Muhammad SAW yang  menyatakan bahwa “ Tidak dinikahkan seorang perempuan kecuali dengan izinnya.” (Muttafaq  Alaih). Berdasarkan pada hadits tersebut sangat jelas bahwa ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad  SAW  memiliki perhatian khusus kepada hak perempuan terutama dalam sebuah pernikahan. Sebagaimana yang lazim diketahui masyarakat kita, ketika seorang perempuan memutuskan untuk menikah, maka ia harus siap dengan segala konsekuensinya termasuk saat harus menggunakan alat reproduksinya ketika hamil, melahirkan dan menyusui. Oleh karenanya, melalui hadist tersebut perempuan diberi kesempatan yang luas untuk memilih dan memutuskan sendiri atas pernikahan yang kelak berkonsekuensi pada penggunaan tubuhnya tersebut. Perempuan memiliki hak dengan siapa dan kapan akan menikah, bukan atas intervensi apalagi tekanan dari selain dirinya.

Berdasarkan pada kedua sumber rujukan hukum Islam tersebut (al-Quran dan al- Hadits), maka segala bentuk perilaku, tradisi, dan interpretasi teks agama yang mengarah pada pengungkungan, eksploitasi serta dominasi dan represi kepada tubuh perempuan tidak boleh dibenarkan (harus ditentang) karena sangat kontra produktif dengan ajaran Islam yang sesungguhnya sangat ramah  dan memuliakan kaum perempuan. Wallahu A’lam.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here