Oleh: Saiful Bari

Film dokumenter berjudul ‘TILIK’ karya Wahyu Agung Prasetyo yang diproduksi bersama oleh Ravacana Films dan Pemda DI Yogyakarta pada akhirnya mengundang perhatian publik, salah satunya soal jilbab. Film tersebut mencuatkan stereotip kuat yang ditimpakan kepada perempuan tak berjilbab. Dian, salah satu tokohnya, tidak berjilbab lalu dianggap atau diposisikan sebagai “perempuan nakal”.

Saya teringat obrolan dengan salah seorang mahasiswi dari Oxford University Inggris pada Agustus tahun kemarin. Ia tengah melakukan penelitian tentang fenomena hijab dan muslimah di Indonesia. “Bagaimana pandangan Anda terhadap perempuan yang tidak menggunakan penutup kepala “Jilbab”? Apa arti jilbab bagi Anda? Kemudian, apa arti muslimah bagi Anda?” tanyanya dengan nada serius.

Bagi saya, jilbab merupakan kain penutup kepala perempuan. Jilbab dalam istilah populer sekarang memiliki nama baru, yakni hijab. Apakah jilbab dan hijab berbeda? Tentu tidak, jika ditinjau dari segi fungsi dan manfaatnya. Namun, akan berbeda jika dilihat dari makna literalnya. Menurut Husein Muhammad (2020), meski dua kata: jilbab dan hijab ini terdapat dalam surah yang sama yakni Al-Ahzab, tapi keduanya memiliki makna berbeda. Hijab tertera pada ayat 53 dan menunjukkan makna “sebuah sekat”, “tirai”, dan “pemisah” di dalam rumah Nabi, antara laki-laki dan perempuan. Sedang jilbab terdapat pada ayat 59 yang menjelaskan bahwa hendaknya perempuan menjulurkan jilbabnya agar dapat dikenali, yaitu kain yang digunakan untuk menutupi kepala.

Jilbab adalah sesuatu yang menutupi kepala. Sedang hijab merupakan sekat pemisah. Pada perkembangannya, terminologi kedua kata tersebut selalu berubah. Kini, kedua kata tersebut diarahkan sebagai pakaian perempuan muslimah. Tak hanya itu, hijab maupun jilbab dijadikan alat ukur tingkat kesalehan seseorang. Fenomena ini pada gilirannya memberikan stigma bahwa perempuan yang tidak berjilbab bukanlah perempuan yang saleh atau dalam bahasa yang agak keras seperti persepsi dari film “TILIK” di atas; “perempuan nakal”.

Perdebatan tentang jilbab cukup banyak. Ada yang membahas dari segi tafsir tentang jilbab, yaitu tafsir tradisional dan modern. Tafsir tradisional ini diwakili oleh tafsir dari empat imam besar, yaitu Syafii, Hanafi, Hambali, dan Maliki. Menurut pandangan ini, seorang perempuan wajib berjilbab dan batasan aurat yang meliputi seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Pandangan tafsir tradisional macam ini memandang bahwa kecantikan perempuan hanya diperuntukkan suami saja. Menunjukkan kecantikan di muka umum hanya akan menarik perhatian lawan jenis yang bukan mahram dan dapat mendekati zina.

Berbeda dengan pandangan tersebut, tafsir modern berusaha menafsirkan Alquran dengan sudut pandang baru, yaitu menentukan batas aurat yang disesuaikan dengan adat atau kondisi, dan standar ‘malu’ yang berlaku di daerah masing-masing. Selain itu, menghias diri sebagai ekspresi diri merupakan hal diperbolehkan secara agama dan dilakukan perempuan dengan penuh tanggung jawab.

Menurut pandangan ini, perempuan diberikan kebebasan dalam urusan memakai jilbab atau tidak. Dalam pandangan ini, perempuan bebas berekspresi, mempercantik diri dan mengikuti perkembangan zaman. Hal ini tentu berbeda dengan stigma tentang jilbab bahwa jilbab adalah bentuk penghambat kebebasan seseorang.

Oleh karenanya, tidak semua perempuan yang berjilbab itu muslimah (orang yang beragama Islam). Namun, ada pula perempuan berjibab–menggunakan penutup kepala–tetapi justru ia adalah suster di Gereja. Ini artinya, tak bisa diasumsikan bahwa seorang yang berjilbab adalah muslimah. Pun sebaliknya, seorang yang tak berjilbab adalah seorang yang tidak saleh dalam beragama.

Dalam pandangan saya seorang muslimah sejati tak hanya diukur dari ia mampu berjilbab, lebih jauh dari itu adalah ia yang mampu membuat orang-orang di sekitarnya tidak merasa terganggu atas kehadirannya apalagi terancam akan hak-haknya: agama, hidup, akal, kehormatan dan keturanan, serta hartanya. Berjilbab atau tidak, perempuan yang paling berhak menentukan. Perempuan memiliki (kuasa) kebebasan dalam berekspresi terutama dalam berjilbab.

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here